COFFE BREAK

ST Nuraeni Ependi
Chapter #3

Nona Cantik dengan Kerah Bulunya

Pagi hari sudah berubah menjadi siang benderang, awan gelap yang menutupi langit sana pun sudah mulai menghilang. Tiba saatnya kedai kecilnya harus dibuka, karena mungkin saja beberapa pelanggan sudah menunggunya di luar sana, berjejer untuk menikmati segelas kopi dan juga camilan. Lalu bercerita tentang bagaimana kerasnya kehidupan, bertukar informasi atau pun bertukar keluh kesah. Hal ini adalah sesuatu yang begitu menarik bagi Vinsmoke, dia merupakan lelaki Introvert pada masanya, tidak begitu tahu bagaimana rasanya mempunyai emosional yang lebih, tidak begitu lihai dalam bersosialisasi. Akan tetapi semuanya telah berubah berkat sang istri tercinta. Dia merupakan wanita sederhana yang menyukai berbagai cerita, baik itu sedih, senang, terharu, menyakitkan dan berbagai macam hal emosi lainnya.

Pikiran Vinsmoke telah terbuka berkat Latisya, dia mendapatkan berbagai macam emosional dari para pelanggannya yang bercerita tentang kehidupan pribadi secara terang-terangan tanpa rasa takut. Vinsmoke baru tersadar bahwa sebuah emosional itu begitu berharga bagi keberlangsungan kehidupan, tanpa adanya sebuah emosional, hidup seseorang akan terasa hambar dan hampa.

***

Lonceng berbunyi pada kepala pintu bergaya eropa klasik. Seseorang dengan kerah bulu yang mengelili sebagian lehernya, bergerak perlahan nan anggun; memakai topi hitam menutupi sebagian matanya yang berbinar. Dia memasuki cafe ini begitu santai, perihal bahwa cafe ini belum dibuka. Vinsmoke yang sedang menikmati lamunan akan masa lalunya tersentak, begitu pula dengan Latisya yang baru saja tiba di atas ruangannya, memakai pajamas dan juga sedang merapikan rambutnya yang terurai keemasan. Lalu berbisik pelan melihat kearah Vinsmoke dan berkata, “Sayang, siapa gerangan wanita berkulit pucat dan cantik itu? Apakah kau membuka cafe ini bukan pada jam waktunya?!” latisya bergegas menghampiri wanita yang terduduk anggun di dekat jendela menghadap jalanan kecil, menghiraukan Vinsmoke yang sedang bersiap-siap untuk membuka kedainya. Tapi, disamping itu dia mengkhawatirkan pakaiannya yang begitu tidak sopan. “Ah, masa bodoh dengan penampilanku. Aku tidak mau membuat dia menunggu lama.”

     Nona dengan kerah bulunya itu menyembunyikan rasa kekesalannya dengan menutup sebagian matanya yang berbinar dengan topi. “Bonjour, apakah anda ingin memesan sesuatu, Nona?” Latisya menunduk sopan. Namun, wanita itu tidak menjawab dan hanya tertunduk lesu. Lalu mengeluarkan sebatang cerutu dalam wadah kecil, berbentuk kotak dengan bahan menyerupai kaleng yang biasanya digunakan untuk mengemas makanan berfermentasi. Bentuk cerutu yang sangat menarik, pikir Latisya sambil menatapnya lekat. Kali ini Latisya sungguh terpesona untuk kesekian kalinya, memandangi wanita itu dengan penuh rasa penasaran dan takjub.

     Cerutu menarik itu dihisapnya dengan sangat dalam, Nona itu meresapi tiap-tiap dari tarikan cerutunya. Lalu, keluarlah asap yang mengepul dari bibir sexynya. Beterbangan layaknya burung yang bebas mengepakkan sayapnya tanpa ada rasa beban yang menyelimutinya.

     Latisya masih berdiri tegak dengan sedikit menunduk dan memegang pena dan kertas, menunggu titah ataupun pesanan dari Nona itu. Namun, Nona itu masih terdiam sembari memainkan bibirnya dengan cerutunya. Sekali lagi dengan perasaan tegang dan berpikir bahwa hal ini akan membuatnya merasa tersinggung, Latisya menanyakannya sekali lagi. “Permisi dan mohon maaf Nona cantik, apakah anda ingin segelas teh madu?” bibirnya membeku selepas berkata demikian.

“Kau tahu, Nona? Apa yang paling berharga dari segelas wine yang disimpan selama beberapa tahun lamanya.”

“Ya, sebuah kepercayaan. Kepercayaan yang layaknya bak kaca bersih dan sangat rapuh keberadaannya. Kaca itu dijaga sangat hati-hati, dirawat agar tak tersakiti. Namun …”

Nona itu berhenti berkata, rasa-rasanya suaranya ketika berkata terdengar parau. Seperti terjadi sesuatu yang tidak diinginkan oleh semua wanita. Setelah menarik nafasnya dalam-dalam dan begitu pula menghunuskan cerutunya, Nona itu melanjutkan perkataannya. Kali ini agak berbeda, karena Nona itu menyimpan topinya, menatap Latisya yang berada di sebelahnya. “Astaga, tidak terduga. Dia begitu cantik ketika melepas topi yang menghalangi wajah tirusnya.” Latisya terdiam, terpaku melihat kecantikan dan keanggunan yang terpancar dari Nona ini. Dia sampai tidak menyadari, Nona itu meminta segelas kopi hitam tanpa gula atau pun vanilla

“Permisi …?”

“Permisi, Nona Latisya. Apakah kau baik-baik saja.”

“Nona?”

Latisya tersentak sejenak, terbangkit dari lamunan dan monolognya sendiri. “Maafkan atas ketidak sopanan saya, karena sudah membuat anda menunggu lama.” Dia tersenyum kaku, menyesali apa yang diperbuatnya. Sedangkan di dapur, nampak sang suami tersenyum melihat tingkah konyol istrinya. Dia menatap, tersenyum sembari meneruskan tugasnya. Nona itu pun ikut tersenyum, senyumannya begitu manis dengan gincu yang tidak terlalu tebal maupun tipis.

     Dia terkekeh dan memaklumi ketidak sopanan yang diperbuat oleh Latisya, “Tenang saja, saya bukan penyihir yang bengis dan kasar karena ulah sepele seperti ini.”

     Bibir Latisya gelagapan, wajahnya berkeringat. Pipinya berusaha di kembangkan, agar terlihat senyumnya ramah dan tamah.

“Nona Latisya!?”

“Iya, Nona.”

“Bisakah aku memesan kopi kental, namun tak manis ataupun tak pahit.”

“Dan …”Nona itu memperhatikan Latisya dari ujung kepala sampai kaki. Tatapannya tidak begitu sinis, tapi cukup ramah. Lalu melanjutkan ucapannya terhadap Latisya.

Lihat selengkapnya