Ekor mataku masih mengamati punggung pemuda yang baru saja mengantar daftar nama donatur takjil pengajian rutin di masjid. Sebelum menghilang di belokan, aku masih menatapnya. Namun, belum sampai melihatnya menghilang, mataku kembali dikejutkan suara mobil yang memasuki halaman. Kedua alisku beradu, entah siapa tamu yang datang sepagi ini. Setelah mobil berhenti beberapa saat, penumpang di pintu belakang turun.
Alangkah terkejutnya aku, ketika melihat siapa yang turun. Mulutku menganga. Tak habis pikir dia akhirnya datang juga—setelah beberapa kali panggilan dan pesan tak kuacuhkan. Kira-kira dari siapa dia tahu alamat rumah almarhum Papa ini? Seingatku, aku selalu merahasiakan tempat ini. Ah, dia pasti pernah membututiku.
“Nay, itu siapa?”
“Waalaikumussalam,” jawabku dingin.
“Eh, iya, maaf. Assalamualaikum.” Rona malu tergambar jelas di wajah gadis itu.
“Ada apa?”
“Itu tadi ada laki-laki keluar dari rumah ini. Siapa?”
“Kenapa?” Aku balik bertanya.
“Ganteng ...,” bisik Syifa sambil menutup mulutnya. Dia tertawa riang, tak peduli dengan sikapku yang tak ramah.
Terlihat Syifa mencoba mencairkan suasana dengan gurauannya. Aku menduga dia sungguh-sungguh ingin meminta maaf, sampai-sampai dia nekat datang ke rumah ini.
“Nayya ....”
“Kesalahanmu bertambah, Fa.”
Gadis di hadapanku terkesiap. Mungkin dia bingung menghitung kesalahannya yang tiba-tiba bertambah.
“Salah apa lagi, Nay?”
“Aku kan pernah bilang, jangan susul dan cari aku di rumah ini. Tapi—”
“Astagfirullah, Nay. Aku minta maaf kalau lancang nyusulin kamu. Telepon dan chat aku gak kamu balas. Aku memang salah, tapi apa gak ada maaf buat aku?”
“Aku sudah maafin kamu, sebaiknya kamu pulang,” ucapku dengan senyum yang kupaksa.
“Nay, aku sudah jauh-jauh kemari masak iya kamu suruh balik. Aku pengen ngobrol sama kamu, Nay.”
“Pulang, Fa.”
“Pliss, Nay ....”
“Aku mau pergi Asyifa Azzahra ....”
“Aku ikut!” serunya sambil bermohon menangkupkan kedua tangan di dada.
“Kamu mau kesalahan kamu nambah lagi?”
Dia bingung, terlihat dari kerutan di keningnya.