Cokelat dan Arloji

Respati
Chapter #2

Ghost Writer

[Kamu bisa selesaikan naskah kamu sebelum deadline, ‘kan?]

Huft.

Deadline lagi. Apa hidup harus seperti ini terus? Menulis dikejar deadline. Tanpa mau tahu kadang-kadang imajinasi tiba-tiba lenyap, menguar bersama kepulan asap segelas cokelat hangat. Lama-lama aku bisa gila.

[Bisa? Awal Desember sudah PO. Momennya pas]

Ah, belum lagi menuruti jadwal pre order yang dipaskan dengan momen tertentu. Bulan baik, momentumnya pas. Bosan! Apa mereka lupa bahwa menulis adalah seni? Sebuah kerja kreatif yang butuh waktu lebih untuk memolesnya. Menggarapnya menjadi ‘sesuatu’ yang pas menurutku sebagai author, bukan maunya ‘mereka’.

[Kamu sudah ketemu Pak Ir?]

Ah, budayawan yang satu ini terlalu sibuk. Aku harus bolak-balik menemuinya. Konsultasi dan referensi darinya sangat kubutuhkan kali ini. Ya, setahuku budayawan yang kucari dan tepat cuma dia. Selebihnya yang kutahu hanya peneliti budaya.

[Belum, Mbak. Re—]

[Gercep, dong, Nayya. Kamu tu dari dulu .... Ah! Pokoknya mbak gak mau tahu, Desember sudah kelar. Atau—]

[Kelar hidupku ....]

[Nah, itu tahu. Ad—]

[Ada banyak penulis baru berbakat yang bisa menggeser kedudukanmu]

Ya, setiap aku terlihat tidak semangat, kerjaku lamban, perawan tua itu kerap mengancamku. Cih! Aku hafal kalimatnya setiap kali dia menekanku. Sebenarnya, aku bisa saja kabur ke penerbit lain, dengan memutuskan Mou. Sebenarnya aku juga bisa melakukannya sejak dulu, tapi bodohnya aku tetap bertahan bersamanya. Entahlah. Aku seperti utang budi dengannya.

Bicara tentang ‘kabur’, aku sudah kabur dari apartemen ke rumah ini. Rumah peninggalan almarhum Papa. Rumah yang pernah menyisakan sekelumit kebahagiaanku bersama Papa.

Tidak ada yang kuberitahu alamat rumah ini. Rumah ini tetap menjadi rahasia. Sama dengan sisi rahasianya kehidupanku yang belum terpecahkan.

Aku menatap sedih kursi putarku yang patah. Dulu, saat aku masih tinggal dengan Papa, aku kerap menggunakan kursi itu setiap kali aku belajar. Kursi hadiah dari Papa. Sudah lama kursi itu tergolek di sudut kamar. Tanganku mencari nomor Mang Ding pada ponselku. Aku yakin dia masih di rumahnya, memandikan jago merah kesayangannya.

Kali ini pria tua itu tidak akan ke sawah. Sesuai pesanku, hari ini dia harus merapikan seluruh pekarangan rumah yang dipenuhi sampah dedauan usai angin kencang tempo hari, juga betapa joroknya halaman belakang. Memasang bola lampu di kamarku yang mati dan banyak pekerjaan rumah lain untuknya.

Lihat selengkapnya