Mang Ding mengangkat kursi putarku. Pria itu baru saja selesai memperbaikinya. Kini kursi itu sudah bisa tegak, berputar, sandarannya sudah kembali normal. Kursi sudah siap menemani malam-malamku. Aku puas dengan hasil kerjanya.
Belum sempat mengucapkan terima kasih, pria itu sudah berlalu. Aku mencarinya hingga ke teras. Mang Ding ada di halaman, di bawah pohon mangga, sekitar lima meter sebelum pagar. Mang Ding tidak sendiri, ia bersama istrinya. Pria itu sedang duduk sembari merokok.
Angin menjatuhkan daun-daun kering pohon di sekitar rumah. Berguguran. Daun-daun kering menjadi sampah dan dikumpulkan Bibi. Ternyata mereka sangat kompak. Bibi mengumpulkan sampah, Mang Ding memasukkannya ke dalam keranjang sampah di beberapa titik pengumpulan.
Rumah peninggalan Papa ini dikelilingi pohon buah-buahan. Papa hobi mengoleksi berbagai jenis pohon buah. Cita-citanya sederhana. Ketika pensiun, ia akan tinggal di rumah yang dikelilingi pepohonan. Sayangnya, Papa berpulang sebelum sempat menikmati pohon buah miliknya. Ah, aku menggeleng cepat, membuyarkan ingatanku terhadap Papa. Mataku mengerjap-ngerjap, sebuah usaha mencegah butiran air mata itu jatuh.
Pandanganku kembali ke dua sejoli yang tengah berada di pojok kiri halaman depan. Aku ingin memanggil Mang Ding, tapi urung kulakukan. Mereka sepertinya sedang berbincang, walaupun aku tidak mendengar apa yang mereka bincangkan. Aku masih berdiri sambil terus memperhatikan mereka berdua. Sampai akhirnya, kuputuskan masuk ke rumah.
“Non!”
Mang Ding berlari kecil menghampiriku. Aku pun urung masuk rumah.
“Non, kursinya rusak lagi?”
Aku tersenyum, lalu menggeleng. “Justru saya mau bilang terima kasih, kursi saya bagus lagi. Terima kasih, ya, Mang.”
Dengan membungkukkan badannya dia mengangguk.
“Sudah sana, terusin nyapunya.”
“Baik, Non.”
“Eh, Mamang jadi pulang nanti?”
“Jadi, Non.”
“Jemput Jupi, ‘kan?” Aku berseloroh.
Mang Ding menggaruk tengkuknya yang mungkin tidak gatal. Itu hanya reaksi malu dan salah tingkahnya.
Sambil tersenyum, aku melanjutkan menggoda pria lugu itu. “Semoga Jupi kerasan ya, Mang.”
“Aamiin.”
Aku masuk ke kamar dengan memasang senyum. Ah, rasanya sudah lama sekali pipiku tidak tertarik seperti ini. Baru semalam aku berada di rumah ini, aku merasakan kebahagiaan yang sudah lama lenyap dari hariku.
Kepergiaan Papa adalah bagian dari takdir yang menurutku sangat tidak adil. Aku sempat terpuruk. Aku protes dan marah kepada Tuhan. Ya, kepada Tuhan yang telah memberiku masalah berat. Semakin aku marah, semakin kacau hidupku. Ah, rasa bersalahku membuatku hampir gila. Semua ini karena dia. Arrggh, pria itu lagi.
Aku beranjak dari kursi putar mendekati jendela kamar yang masih kubiarkan terbuka. Dari tempatku berdiri terlihat halaman yang demikian luas. Jauh di belahan barat, semburat jingga bersemu merah menghiasi cakrawala. Indah. Indah sekali. Walaupun keindahannya hanya sesaat karena kelam akan segera menggantikannya.
Aku menganalogikan senja dengan kehidupanku saat ini. Kesuksesan, harta, popularitas sudah kupunya, setelah waktuku habis nanti tinggal menanti kematian, menjadi gelap dan sendiri. Jadi, untuk apa aku mengejar angka-angka, nama tenar kalau akhirnya aku mati tanpa membawa semua yang kumiliki. Barangkali satu-satunya yang akan dikenang hanyalah namaku. Itu saja.
Aku merenung. Lamat-lamat kudengar suara azan. Suaranya terdengar jelas.
“Non,” panggil Bi Min. “Jendela belum ditutup.”
Aku terkesiap. Lamunanku menguap seiring ketukan Bibi di pintu kamar. Aku tidak menjawab, tanganku meraih jendela dan menguncinya.
Aku kembali duduk di sofa dekat jendela. Tanganku meraih ponsel yang tergeletak di meja. Ada lima panggilan dari nomor yang berbeda. Salah satunya dari Syifa. Gadis itu pasti kehilangan. Aku memang tidak memberitahu kepindahanku ini, walaupun sementara, biasanya aku selalu berkabar dengannya.