Kebahagiaan itu sebenarnya ada dalam hati, bukan di mana kita berada. Tetapi jujur, aku merasa menemukan kebahagiaan di sini, di rumah lama. Rumah masa kecilku.
Mentari pagi baru saja menyingsing. Semburat kekuningan di cakrawala belahan timur memberi corak langit demikian indah. Walaupun belum bulat sempurna karena masih terhalang lapisan kabut yang mulai turun. Namun, dingin yang tercipta tak menghalangi penduduk sekitar untuk beranjak dari peraduannya. Biasanya sebagian dari mereka sudah mulai menapaki pematang menuju persawahan milik mereka.
Angin menerpa tipis membawa serta hawa dingin yang belum juga mengusik rasa malasku. Suara-suara ranting yang saling bersinggungan, menciptakan bunyi-bunyian di luar kamarku. Bukan hanya dahan yang mengetuk jendela kamar, ada juga suara lain di luar sana. Telingaku cukup jelas mendengar biarpun mataku enggan terbuka.
Suara itu berada di sekitar jendela. Berisik, membuatku bangun. Aku bisa menerka, suara itu adalah suara sapu lidi. Pagi sekali Bi Min sudah menyapu halaman. Tiba-tiba senyap. Tak terdengar lagi suara sapu diseret di tanah. Lamat-lamat terdengar suara dua orang sedang berbincang. Dengan siapa Bibi bicara?
Mataku terbuka, mencari ponsel di bawah bantal sekadar memastikan jam berapa saat ini. Oh, pantas saja. Sudah siang rupanya. Bergegas aku beranjak dari tempat tidurku. Meraih handuk, lalu menghilang di balik kamar mandi.
Hari ini aku ada janji dengan Mbak Rara. Ini adalah pertemuan pertama setelah pembicaraan project mencapai kesepakatan. Ya, ada banyak pertemuan sesudah ini untuk membahas berbagai hal dan kali ini aku membebaskan Mbak Rara menentukan di mana kami akan bertemu nanti.
Akhirnya, disepakati sebuah kafe di pinggiran kota sebagai tempat pertemuan. Mengapa jauh sekali memilih kafe? Ah, ada baiknya nanti aku tanyakan.
Selesai bersih diri, aku mematut diri di cermin, menyisir rambutku yang sudah mulai menggapai pundak. Aku mencari ikat rambut kain favoritku untuk mengikat rambut hitamku sekenanya. Kemeja panjang kulipat dan tersisa ¾ dari panjang lengan. Kulit mulus terlihat jelas di tanganku. Aku bergeming. Mendadak aku teringat Papa. Dia pernah melarangku meninggikan lipatan di lengan kemejaku.
“Turunkan lipatan bajumu, Nayya.”
“Kenapa, Pa? Gerah kalau dipanjangin.”
“Itu auratmu. Jangan diumbar!”
Aku terdiam. Pelan-pelan kubuka lagi lipatan itu. mengancingkannya dan bersiap pergi. Lagi-lagi langkahku tertahan. Papa masih mengajakku bicara.
“Nayya, besok jangan pakai celana panjang.”
“Ke—”
“Pakai baju muslimah. Itu mudah dikenali.”
Aku masih diam di depan cermin, seperti sedang berdialog dengan bayanganku sendiri. Sejak itu aku tak pernah lagi menggunakan celana panjang. Hanya berhijab yang belum bisa kulakukan.
Cukup lama aku mematut di cermin, sampai akhirnya dering ponselku berhasil membuatku terperanjat.
[Assalamualaikum, Nayya!]
[Walaikumussalam. Ada apa, Fa]
[Kamu kapan balik? Suntuk, nih. Aku kesepian]
Aku tertawa mendengar nada manja yang dibuat-buat itu.
[Nyalain mercon, Fa, biar ramai]
[Hah? Mana ada yang jual]