Aku mengendarai mobil dengan kelajuan sedang. Tujuan pertamaku adalah bertemu Mbak Rara. Kesepakatan bertemu pukul 9 pagi. Sepertinya sudah lewat beberapa menit sejak aku memarkir mobil di halaman sebuah kafe. Aku terlambat. Setelah parkir sempurna, aku keluar dari mobil dan mulai mencari keberadaan Mbak Rara di antara pengunjung di dalam kafe.
Ponsel di tanganku tiba-tiba bergetar.
[Mbak, saya di meja nomor 42]
Tanpa menjawab, aku bergegas masuk dan mencari nomor meja yang dimaksud. Meja itu ada di bagian belakang kafe, sedikit tersembunyi. Aku menghampiri meja yang agak terlindung itu. Seseorang duduk di sana. Ibu muda yang cantik, menggunakan kaca mata cokelat keemasan. Keren sekali. Dia sedang memainkan ponselnya.
Menyadari kehadiranku, wanita itu membuka kaca matanya dan bersuara lembut.
“Mbak Nayyara?”
Aku mengangguk gugup. Terpana menatap sepasang mata yang indah sekali, sebentuk bibir tipis dipoles pemerah bibir warna soft. Cantik. Wanita di depanku benar-benar jelmaan bidadari.
Dia mengulurkan tangannya dan berucap, “Rara.”
Jadi benar, perempuan cantik ini bernama Rara. Aku memanggilnya Mbak Rara, perkiraan usianya paling setahun atau dua tahun di atasku. Namun begitu, dengan dua anak, wajah dan penampilannya terlihat lebih muda. Kulitnya bersih dan halus. Tanpa sapuan apa pun di wajahnya dia masih sangat cantik. Selebihnya dia begitu fresh. Aku jadi malu dengan diriku sendiri. Boro-boro perawatan, memakai bedak saja aku malas. Dibandingkan aku, pesonanya jauh melampauiku yang lebih muda.
“Silakan duduk, Nay. Saya panggil nama boleh?”
“Silakan, Mbak.”
“Kamu juga panggil saya Rara saja. Kita gak jauh beda, ‘kan?”
Aku tersenyum. Dia menghiburku. Entah wajah dan penampilanku yang tidak mencerminkan usiaku, atau wanita ini yang awet muda. Ah, terasa sungkan memanggilnya nama.
Aku mengangguk, lalu mulai memilih minuman dan cemilan dari daftar yang disorongkan Rara. Pada akhirnya, aku memilih kentang goreng dan air putih hangat. Seleraku mendadak hilang ketika Rara menanyakan umur.
“Boleh tahu berapa umurmu, Nayya?”
Aku menutup buku menu, mencoba tenang walaupun dada bergemuruh. Entahlah, aku benci membahas persoalan umur. Aku bisa menerka pertanyaan setelah itu.
“Biar aku tebak, Nay. 28. Benar?”
Skak. Tepat sekali. Juli nanti aku genap 28 tahun. Dari mana dia tahu? Di setiap bionarasi-ku, tak pernah sekali pun aku menyertakan identitas kelahiranku. Ah, barangkali dia hanya asal tebak. Aku tersenyum tanpa mengangguk. Aku sengaja tidak membenarkan tebakannya.
“Belum mau nikah? Belum ada jodoh atau menunggu jodoh?”
Benar, ‘kan? Oh, Tuhan. Kenapa justru aku yang diinterviu?
“Santai, Nay. Aku lihat kamu tegang banget dari tadi. Oke, gimana project kita?”
Aku mencair seketika. Seperti terhindar dari pertanyaan menjebak dosen killer di meja persidangan. Hah, lega rasanya tidak perlu menjawab pertanyaan seputar jodoh itu.
Aku mengeluarkan buku kerjaku, benda yang membantu mengumpulkan informasi setiap klien. Berguna juga saat ide iba-tiba menari-nari di pelupuk mata, bertebaran di suatu waktu. Selain buku, aku juga menyiapkan ponselku sebagai alat perekam suara. Benda itu bisa memberikan gambaran suasana hatinya saat bertutur denganku.
Sore ini, pada pertemuan pertama ini, aku lebih mengenalkan konsep project yang akan kukerjakan. Aku mengajaknya bicara tentang komponen dalam cerita yang ingin ia tonjolkan. Beberapa tahapan aku buat dalam bagan-bagan sederhana. Bulatan-bulatan yang kugambar mewakili setiap tahapan. Jika project ini lancar, 4 bulan lagi buku sudah bisa launching.
Rara sangat antusias mendengarkan penjelasanku pada isi masing-masing kotak yang kususun sederhana itu. Sesekali dia mengangguk. Menimpali kalimatku atau bertanya. Aku bisa menilai Rara smart memiliki kecerdasan tinggi.
Saat aku menjelaskan akan ada pertemuan kedua, dia buru-buru memotong kalimatku.
“Tempat biar aku yang atur, ya, Nay. Kamu terima beres.”
Aku sempat terdiam sesaat, sebelum akhirnya aku memberanikan diri bertanya; mengapa mencari kafe yang jauh dari keramaian.
“Saya tidak ingin orang curiga. Itu saja. Dan tugasmu menjalankan project ini.” Ucapannya tegas. Arogan. Kali ini sisi lain dari seorang Rara terkuak.
Aku menghela napas pelan. Pelan sekali agar tidak terkesan aku kesal dengan sikapnya barusan. Terbuat dari apa hatinya itu? Sebentar terlihat sangat lembut keibuan, lalu ceria juga lucu, tetapi juga bisa tegas dan sedikit sombong. Aku berharap dia tidak membuatku menyesal menerima kerja sama ini.
“Nayya, jam tangan kamu sudah harus diganti, tuh. Modelnya gak cocok dengan kamu yang energik dan manis.”
“Terima kasih. Ini masih bagus, kok.”
“Pakai uang kemarin buat beli yang baru, Nay. Atau biar aku belikan, ya,” tawarnya.
Aku menggerakkan tanganku buru-buru menolak tawarannya itu. “Ah, tidak perlu. Terima kasih, Ra. Besok-besok aku beli sendiri, deh.”
Rara tersenyum, sambil memainkan tali tasnya, dia pun bertanya, “Kamu pernah dapat hadiah dari pacar kamu, Nay?”
Kepalaku terlanjur mengangguk. Kulihat Rara tersenyum. Dia pun melanjutkan ceritanya. Sementara aku, mendekatkan ponselku ke arahnya.
“Setiap ulang tahunku, selalu ada kejutan buatku. Setiap tahun. Suamiku orangnya romantis. Dia pandai memanjakan istrinya. Hadiah dari dia tidak selalu barang bermerek yang mahal. Kadang cuma es krim yang kami makan berdua. Atau sepiring nasi goreng buatannya. Eh, dia juga pandai memasak. Masakan andalannya nasi goreng teri medan. Kapan-kapan kamu mesti mencobanya, Nay.”
Rara meraih cangkirnya. Aroma tiramisu menguar begitu diaduk. Sesaat matanya terkunci di putaran dalam cangkir. Sepertinya dia melamun. Atau mungkin sedang mengingat lanjutan ceritanya. Aku membiarkan Rara mengumpulkan daya ingatnya kembali. Tak lama kemudian, dia menyesap minumannya.
“Penyuka cokelat hangat?”
Rara mengangguk pelan. “Terutama saat aku sedikit stres. Untuk mengembalikan mood-ku aku pasti minum ini.”
Diangkatnya cangkir itu, lalu menyesapnya ulang. Aku terus memperhatikan setiap gerakannya dan merekamnya dalam otak. Seakan tak ingin terlewatkan semua tentang Rara.
“Kamu harus coba, Nay. Bakal ketagihan. Apalagi kalau kamu tiba-tiba bad mood.”
“Kapan-kapan kucoba.” Ah, Rara tidak tahu saja kalau aku juga penyuka cokelat hangat. Bedanya, aku meminumnya saat aku ingin menikmatinya. Tanpa perlu ada stress mengiringi.
Kring ....
Ponsel yang sedang merekam percakapan itu berubah tampilan. Ada foto Asyifa di layar, memanggil. Aduh, anak ini, keluhku jengkel.
“Terima aja, Nay. Santai aja.”