Sapuan angin menerbangkan beberapa helai rambutku yang lepas dari ikatannya. Aku tergerak mengikatnya lebih rapi sambil melihat sekeliling kafe yang mulai ramai. Kafe ini memberikan dua ruang berbeda. Terbuka di sekitar bangunan induk dengan konsep seperti paviliun atau kursi empuk bersekat di dalam yang nyaman.
Kali ini aku dan Syifa memilih di luar. Dengan perkiraan sore ini tidak akan turun hujan. Namun, kumpulan awan putih itu berkumpul berubah keabu-abuan, pekat. Sepertinya mendung itu akan segera menumpahkan airnya.
“Fa, kita pindah ke dalam?”
“Kenapa?”
“Kayaknya mau hujan. Kalau deras, tempiasnya sampai ke kursi ini.”
“Ayuklah.”
Sebelum pesanan mereka diantar, ada baiknya memang pindah ke dalam. Selain itu, sekat di antara dua kursi di ruang dalam membuatku terlindungi. Syifa mengenyakkan pantatnya lebih dulu, lalu berkata lirih.
“Nay, tahu gak aku kemarin ketemu siapa. Di sini?”
“Enggak.”
“Tebaklah dulu. Nggak seru, deh.”
“Aku lagi males menebak. Berkali-kali aku nebak hati orang salah mulu. Eh—” Buru-buru aku menutup bibirku.
“Hahaha. Tumben kamu ngocol, Nay. Itu mah deritamu.”
Aku hanya tersenyum dengan selorohanku yang spontan barusan.
“Aku ... ketemu ... Handika.”
Aku terkesiap. Buru-buru Syifa menggodaku.
“Hei! Biasa aja kali. Mau tahu lanjutannya nggak?”
“Apa?”
“Kokohmu itu, sudah hijrah!”
“What?!” Aku terpekik. Aku sampai lupa sedang berada di mana.
“Ssst, udah kubilang biasa aja, malah teriak,” ucap Syifa geram. “Kamu mau dilihatin banyak orang di sini?”
“Gi-gimana ceritanya dia bisa hijrah?”
“Bisalah, kalau hidayah itu memang datang buat dia. Dan dia bukan main-main sebelum menetapkan hatinya.”
“Kamu-kamu kok kayaknya tahu detail. Kamu ketemu sama dia?”
“Nayya, kan sudah kubilang, aku ketemu dan ngobrol banyak sama dia. Eh, dia kirim salam buat kamu. Dari kemarin aku mau ceritakan ini, kamunya yang sibuk terus. Aku susulin ke apartemen kamu malah ke kampung. Ya, baru sekarang aku bisa cerita.”