Senja kala menyapa bumi dalam beberapa menit lagi. Aku memutar badanku setelah menerima sebuah kotak yang tadi terulur lama dari tangan pria masa lalu itu. Sebuah kotak serupa kotak arloji yang ditawarkan Rara siang tadi. Ah, kenapa arloji lagi?
Walaupun menerima hadiah adalah sama dengan mendapat rezeki, aku tetap enggan menerimanya. Bukan apa-apa, khawatir ada godaan di dalamnya. Apalagi pria itu pernah hadir di awal aku mengenal getaran-getaran dua remaja yang baru mengenal cinta. Mungkin juga bukan cinta yang sesungguhnya. Barangkali hanya sekadar tertarik pada lawan jenis.
Ah, benarkah aku pernah jatuh cinta? Cinta pertama? Seperti yang orang bilang, cinta pertama sulit dilupakan, benarkah? Apa itu juga yang membuat aku sulit mendapatkan penggantinya dan memilih sendiri hingga Nas hadir di tengah ketidakpercayaanku terhadap cinta? Apakah rasa kehilangan Handi demikian membuatku patah? Rasa percayaku kepada cinta berangsur memudar. Aku bahkan tidak bisa melihat warna cinta lagi sesudah itu.
Langit keabu-abuan memberikan batas waktu malam akan menggantikannya. Aku memilih menambah kelajuan mobil agar pulang tak melintasi malam. Rasanya aku ingin segera berendam di bathtub, mengusir gerahku seharian ini.
Syifa. Mendadak aku teringat gadis itu. Entah di mana dia saat aku pamit pada Handi tadi. Atau mungkin dia sudah pulang duluan dan meninggalkan kami berdua? Sialan! Ini pasti bagian dari rencananya.
Melodi lembut sebuah lagu menyertai perjalananku pulang. Tingginya volume radio mengalahkan dering telepon Syifa sejak aku masuk mobil tadi. Sampai di pertigaan jalan menuju rumah, aku memutar setir ke kiri. Aku mengerem mendadak. Seorang pria tiba-tiba muncul membuatku terkejut. Dadaku berdegup kencang. Untung pria itu menahan laju kakinya, kulihat dia pun tak kalah terkejut. Nyaris saja aku menabraknya.
Sesaat dia memandang ke arahku. Pria itu masih berdiri di depan pagar dengan senyum tipis. Tak terlihat marah. Setelah bisa menguasai diri, aku turunkan kaca jendela dan mengucapkan maaf padanya. Dia hanya mengangguk sambil mengatupkan kedua tangan di dadanya. Ah, sopan sekali dia. Pria berbaju koko dan sarung biru tua, lengkap dengan kopiah menambah pesona religiusnya. Setelah dia berlalu, aku memutar setir masuk ke halaman. Sudah ada Bibi berdiri di teras, sepertinya Bibi menungguku.
“Non, sore sekali pulangnya. Buruan mandi, sebentar lagi magrib,” sambut Bi Min.
Aku hanya mengangguk. Segera aku masuk ke kamar, lalu mandi. Aku mendengar Bibi mengetuk pintu kamarku.
“Non, mau salat di rumah atau masjid?”
“Rumah aja, Bi. Saya capek.”
“Ya sudah, Bibi izin ke masjid ada ceramah habis Isya nanti.”
Aku keluar kamar, melihat Bibi dan Mang Ding berjalan mengunci pintu belakang. Melalui jendela aku menahan mereka.