Cokelat dan Arloji

Respati
Chapter #9

Perjalanan Hijrah

Aku melipat mukena dan meletakkan di sandaran kursi, lalu duduk di kursi putar menghadapi laptop. Geraian rambut yang berantakan kembali kurapikan. Aku melihat bayangan diri di layar monitor laptop. Rambut sebahu kuraba. Hitam, tipis, dan kerap rontok. Setelah Syifa memutuskan menutup auratnya dua tahun lalu, aku memilih bersikap biasa. Aku menghargai keputusannya, demikian juga Syifa menghargai keputusanku yang belum ingin menutup auratku ini.

Namun, ada yang lain selepas qiyamul lail malam ini. Aku beranjak mendekati cermin di lemari pakaian di sudut kamar. Mematut wajah sendiri, cukup lama. Aku mengambil selendang yang menggantung di sela-sela baju. Memasangnya di kepala, lalu merapikan sisa kain ke belakang. Mematut lagi, lalu tersenyum sendiri.

Tiba-tiba pintu diketuk. Aku buru-buru melepas penutup kepalaku, lalu berjalan membuka pintu. Wajah Bibi terlihat di sebalik pintu sambil tersenyum. Bibi mengenakan mukena dengan sajadah tersampir di pundaknya. Sepertinya Bibi hendak ke masjid.

“Bibi subuhan di masjid?” tanyaku menebak.

“Iya, Non mau ikut?”

Tak langsung mengangguk dan kembali ke dalam mengambil mukena dan selendang yang tadi kucoba. Setelah menutup semua pintu kami bertiga menyusuri jalan menuju masjid. Azan Subuh menggemakan panggilan salat. Merdu sekali, menyejukkan hati. Aku kembali merasakan babak ini saat masih SD. Saat masih ada Papa.

“Non cantik pakai jilbab,” tukas Mamang memuji penampilanku.

“Diteruskan saja, Non.”

“Apanya, Bi?”

“Pakai jilbabnya.”

Aku tersenyum, pipiku mungkin sudah merona merah. Malu. Lebih tepatnya malu karena terlambat. Seharusnya sudah kulakukan sejak dulu. Sejak Syifa mengingatkanku. Syifa memang pernah mengingatkan aku untuk menutup auratku. Waktu itu, aku sedang mabuk popularitas. Selain Syifa, Papa juga melarangku menggunakan pakaian yang pendek termasuk tanpa lengan. Aku memang tomboy, lebih menyukai kulot atau celana panjang daripada rok apalagi gamis.

Syifa memang tak pernah memaksa. Sebagai sahabat dia cukup memberiku kebebasan untuk memilih. Saat itu aku belum memikirkan pakaian yang seharusnya sebagai muslimah. Aku masih menikmati ‘kebebasan’ berbusana.

“Nay, ke butik Balqis, yuk,” ajaknya waktu itu.

“Balqis?”

“Ya, anak komunikasi yang mantannya Reno.”

“Punya butik sendiri?”

“Kayaknya bisnis keluarga, deh.

“Apa aja dijualnya?”

“Makanya ayuk ke sana aja jadi bisa tahu ada apa aja.”

“Oke,” jawabku mantap.

Lihat selengkapnya