Tok!
Tok!
Tok!
"Lan?" Orion membuka lebar pintu kamar Bulan yang sedikit terbuka.
Tercium wangi ruangan khas kamar wanita dengan nuansa kamar yang serba biru putih. Ruangan yang cukup rapi untuk seorang Bulan Purnama.
Bulan yang kala itu sedang duduk di atas tempat tidurnya, secepat kilat melempar bantal ke arah Orion dan menutup layar laptopnya.
"Lo kebiasaan main nyelonong aja!"
Orion terkekeh dan merebut laptop milik Bulan. Orion dan Bulan hanya beda satu tahun, jadi mereka seperti layaknya teman, tidak seperti kakak beradik.
"Hayo, lo ngapain? Nonton bokep ya?"
Bulan menoyor kepala kakaknya itu berkali-kali, "kalo ngomong dipikir dulu, jangan asal jeplak, jangan nuduh yang macem-macem! Gue bukan elo yang hobinya nonton anime hentai!"
"Itu kan dulu. Jaman gue SMA. Lagian gue juga nontonnya bareng lo. Dan lo lebih parah karena tontonannya yaoi." Pernyataan Orion membuat wajah Bulan memerah.
"Stop! Jangan bahas. Kita berdua punya masa lalu dan lebih baik kita songsong masa depan yang cerah, oke?"
Orion kembali terkekeh mengingat adiknya pernah dimarahi pacarnya karena sudah merusak otaknya dengan film yang tidak ada manfaatnya sama sekali.
"Jadi, lo ke sini mau apa?" tanya Bulan to the point.
Orion menarik kursi ke dekat ranjang milik Bulan. Dia duduk dengan sandaran kursi yang berada di hadapannya.
"Lo tau kan gue udah putus sama Renata?" Nama mantan pacar Orion yang tempo hari bilang putus di taman kampus.
Bulan mengangguk, "Terus? Jangan bilang lo mau balikan lagi? Mending jangan deh! Dia itu cewek ga baik. Masa selepas putus dari lo, besoknya dia terang-terangan jalan sama si Robi. Somplak kan tuh cewe!" ucap Bulan panjang lebar.
"Remnya blong ya, Neng? Ngomong kok ga ada titik komanya," protes Orion.
Bulan menatap sebal kepada Orion, "Gue kan lagi ngasih info ke elu! Nyebelin banget sih!" Bulan mengerucutkan bibirnya.
"Makasih infonya, tapi gue tau berita itu secara live," ujar Orion.
Laki-laki berkacamata itu berpindah tempat ke atas tempat tidur, merebahkan dirinya yang kemudian kepalanya disangga oleh tangannya.
Mata Bulan membulat sempurna dan tampak antusias ingin mendengar kelanjutan ceritanya.
"Serius lo?! Terus gimana? Lo hajar cowoknya? Lo labrak tu cewek? Lo kenapa ga cerita ke gue?" cecar Bulan.
"Ya ngga gimana-gimana. Orang gue juga udah putus sama Rena. Ngapain juga gue hajar tu cowok atau labrak si Rena. Ngga ada manfaatnya." Orion menghembuskan napas berat. "Lagian, itu udah ga penting lagi. Ada yang lebih penting sekarang."
Bulan mendekati Orion dengan wajah penasaran. Muncul sinyal kepo tingkat dewa yang dipancarkan oleh wajah gadis cantik berkulit putih itu. "Apa yang penting? Lo lagi deket lagi sama cewek? Ceweknya kayak gimana? Seangkatan? Sejurusan? Lebih cantik dari gue? Jangan-jangan, cewek itu yang bikin gue gantiin lo kuliah? Cewek yang bikin gue ga kebagian cupcakes? Cewek yang pernah lo sebutin itu waktu lo ngigo ... siapa namanya? Alena?"
Orion menjauhkan wajah Bulan dengan telapak tangannya, "ga usah deket-deket! Hujan lokal tau! Muncrat semua ke muka gue," ucap Orion yang membuat Bulan mengelap bibir dengan tangannya.
"Bohong banget!" tukas Bulan.
"Gue ngga bohong. Nih liat, ada percikan di kacamata gue."Orion melepas kacamatanya dan memperlihatkan lensanya ke arah Bulan. Seketika Bulan tersenyum tanpa rasa bersalah. "Lagian, namanya itu Aletha, bukan Alena. Jangan nyampe salah!" tegas Orion.
"Lebay banget sih lo! Jadi sekarang dia lebih penting dari pada gue? Padahal, dulu aja lo over protective banget sama gue, sekarang cueknya gak ketulungan," ujar Bulan mengingat masa SMA-nya yang selalu dihantui bayang-bayang Orion walaupun mereka berbeda sekolah.
"Cieeeee, yang kangen diperhatiin," goda Orion.
"Gue ga kangen tuh! Lo lupa kalo gue muak banget sama sikap lo. Kayaknya si Rena juga muak sama tingkah lo, makanya dia mutusin lo."
Orion terdiam sejenak, "Emang gue gitu ya?"
Bulan menyilangkan kakinya dan mendekap guling yang baru saja dia raih.
"Lo ga seburuk itu sih," ucap Bulan. Bulan merasa tidak enak setelah melihat raut wajah Orion yang tampak muram. "Lo baik, ganteng, keren, kece, pinter, cerdas, body lo juga unggulan, secara fisik sih lo idaman banget. Cuma kadang, lo itu suka ngikutin gue atau seseorang yang menarik perhatian lo ketika lo ngerasa penasaran. Kan bisa lo tanya langsung ke orangnya."
Orion bangkit dari tidurnya dan duduk menghadap Bulan, "Gue bukannya ngikutin, tapi gue ngejagain. Kadang, ada alasan kenapa gue ga nanya. Gue lebih suka nawarin diri buat nganter dari pada nanya tujuan tapi gue ga bisa anter. Lo tahu sendiri kalo gue ga suka penolakan. Tapi sekarang bukan jaman SMA lagi yang bisa seenaknya maksa anak orang. Sekarang gue menjelang dewasa dan harus menghormati segala keputusan orang lain, walaupun terkadang gue sendiri ga terima. Gue juga ga ganggu orang yang gue jagain kok. Setelah dirasa aman, saat itu juga gue pergi. Gue cuma ga mau cewek yang gue sayang kenapa-napa."
Itulah Orion. Orion yang selama ini selalu mengikuti Aletha kemana pun dia pergi, selalu menunggu Aletha di depan rumahnya semata-mata ingin memastikan keamanan perempuan yang dia suka.
Entahlah ini apakah bisa dibilang over protective atau bentuk rasa perhatian, tapi bagi Orion, ini hal yang wajar ketika dia mencintai seseorang. Tidak ada salahnya kan jika ingin gadisnya baik-baik saja?
"Trus, kelanjutannya sama Alena? Gimana?"
"Aletha, Bulan. A-LE-THA!" Orion menekankan suaranya di setiap suku katanya.
"Iya, iya, Aletha." Bulan memperbaiki pengucapan nama Aletha dengan benar. "Kelanjutannya, lo mau gimana? Nembak? Or just friend?" tanya Bulan.
"Kalo gue nembak, kira-kira dia mau nggak?" tanya Orion dengan serius.
"Kalo gue jadi Aletha, ogah gue jadian sama elu! Lo rese!"