Tha, nnti aku ke rmh.
Aletha memandangi ponselnya yang kala itu menerima pesan dari Orion.
Sesak. Napasnya tercekat ketika melihat pesan dari Orion.
Jadi, secara tidak langsung, aku jadi yang kedua? Kenapa?
Aletha sudah mengetikkan kata-kata yang ia pikirkan, namun kembali dia urungkan niat untuk mengirim pesan kepada Orion. Dia kembali menghapus huruf-huruf yang sudah dia ketik.
"Lo diem aja liat cowok lo pergi?" Shita seakan menjadi kompor pemanas hati Aletha.
"Gue percaya dia," ucap Aletha singkat.
"Lo emang bisa percaya cowok lo, tapi gimana sama yang ceweknya? Bisa dipercaya ga?"
Aletha bergeming. Dia tidak tahu apa yang terjadi dan apa yang akan terjadi ke depannya. Tapi yang pasti, untuk kali ini gadis itu butuh penjelasan dari Orion.
Dan sekarang, malam sudah tiba. Masih belum ada kabar dari Orion. Pikiran Aletha terasa kacau. Dia tidak bisa konsentrasi mengerjakan tugasnya. Bahkan, dia mengabaikan seruan kakaknya untuk makan malam.
"Tha, keluar, napa! Jangan ngerem mulu. Sini, makan dulu," seru Alghi dari balik pintu.
Aletha menghela napas. "Gue ga laper, Bang," ucap Aletha lirih.
Dia menuju ke jendela kamarnya, menghirup banyak udara yang berhembus dingin menyentuh wajahnya. Gadis itu merasakan sesak yang luar biasa, seakan udara menghilang dari permukaan bumi. Pikirannya lelah. Lelah menghadapi semua yang terjadi.
Aletha mengedarkan pandangannya ke arah jalanan yang begitu lengang, berharap ada Orion yang berdiri di depan rumahnya seperti beberapa waktu sebelumnya.
Dan, ponsel Aletha berdering, membuyarkan lamunannya. Aletha meraih benda pipih itu dan menatap ke layar yang menyala.
Orion? Apa dia ga bisa datang ke sini?
Tanpa pikir panjang, Aletha menggeser tombol hijau di ponselnya dan mendekatkannya ke telinga.
"Halo?" sapa Aletha yang kemudian berjalan kembali ke arah jendela, duduk di bibir jendela yang terbuka lebar.
"Halo juga," balasnya.
"Katanya mau ke sini?" ucap Aletha sedikit kesal.
"Cie, nungguin...."
Nyebelin!
"GR banget jadi orang. Siapa juga yang nungguin? Kan, kamu sendiri yang bilang mau ke rumah aku."
"Kalo ga nungguin, ngapain duduk di pinggir jendela?"
Aletha tersentak dan berdiri dari posisinya. Dia mengedarkan pandangannya, mencari-cari sosok yang sebenarnya sedang dia tunggu. Namun, tidak ada satupun tanda-tanda kehadiran lelakinya itu.
"Kenapa celingukan? Nyariin, ya?"
Aletha menghentakkan kakinya. "Kamu di mana, sih?" Nada suara Aletha mulai meninggi.
"Ga usah marah gitu, dong. Kamu ga sadar, kalau aku ini selalu ada di hati kamu. Di mana pun aku berada, aku selalu dekat sama kamu. Di hati ..., dan pikiran kamu."
Aletha terdiam. Seulas senyum tampak di wajahnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa nama Orion memang selalu mengusik pikirannya, dan juga hatinya. Membuat dia tidak dapat konsentrasi selain mengingat nama Orion.
"Apaan, sih," ucap Aletha pelan, tanpa rasa kesal. "Aku tahu kalau kamu emang selalu di hati aku. Yang aku tanya, raga kamu ada di mana?"
Orion tersenyum. Kedua sudut bibirnya tertarik ketika melihat gadisnya yang tersipu malu sambil melipat kedua bibirnya dan menyelipkan anak rambut yang jatuh di depan wajahnya ke belakang telinga.
Orion melangkah mundur, menampakkan dirinya di hadapan gadis yang menantikan kehadirannya.
"Aku di sini," kata Orion.
"Jangan main-ma-" ucapan Aletha terhenti saat melihat Orion di halaman rumahnya. Orion tersenyum sambil melambaikan tangannya.