Abeline mendengus seraya melempar bungkus cokelat Wimaya sepenuh tenaga ke lantai, setelah sebelumnya meremas kejam kertas tanpa dosa tersebut. Matanya kini tajam mengarah lurus pada teman sebangkunya,
"Arrggghhh! Buang!"gerungnya memerintah.
Wimaya mengangkat alis lalu menggigit keras cokelatnya sampai suara patahannya terdengar. Sangat menggiurkan. Lebih-lebih aroma 70% Lindt dark chocolate tersebut menguar terbawa angin.
"Tidak mau." tandas Wimaya datar.
Abeline menegakkan duduknya,
"Wima!"sentaknya dengan mata melotot, membuatnya nyaris seperti Anabelle di ambang murka.
Wimaya melirik tanpa ekspresi kemudian mengubah posisi duduknya membelakangi Abeline, menghadap tembok. Suara batang cokelat patah kembali terdengar.
Abeline mengerang putus asa.
"Grrhhhrrrhhh!"
Wimaya melirik. Katanya,
"Putuskan, Abel. Lo itu mau jadi feline cats-meow atau wolfie kalo lagi marah. Jangan labil gitu deh. Dikit-dikit mengaum, dikit-dikit menggeram."
Abeline membeliak makin lebar, tak percaya ulah Wimaya. Langsung ia berdiri, siap membuat perhitungan terhadap Wimaya. Namun, sebuah penghapus yang melayang mengenai pelipis mengalihkan maksudnya. Dia menoleh garang. Dilihatnya Topan sedang memandangnya.
"Ribut, tau!" kata Topan.
Abeline kembali merah padam mukanya, siap meledak lebih lanjut. Ardhi -teman sebangku Topan, membuang muka sejenak sebelum beradu pandang dengan Abeline. Menghindar bersirobok mata dengan gadis yang terkenal galak seantero sekolah.
"Ka-, Ka-, KALLLIIIAAANNNN!!!"seru Abeline menggelegar, membuat teman-teman lain yang tersisa di kelas menoleh.
Abeline kini berdiri berkacak sebelah pinggang sementara satu tangannya terkepal dengan telunjuk tepat mengarah lurus pada Topan.
"Seram." desis Topan gentar sambil perlahan duduk.
Ardhi bergumam, "Lo sih ah!"
Abeline masih merah padam. Ardhi memandangnya dengan ekspresi wajah sok suci.
"Abel sayang, gue udah bilang kok sama Topan supaya jangan gangguin lo."
Topan terperangah lalu memandang Abeline,
"Bohong, Bel! Tadi Ardhi yang bilang lo udah keterlaluan. Anak-anak sekelas mulai keganggu sama tantrum lo itu."
Ardhi menendang kaki Topan sambil memicingkan mata, "Lo ya, cari aman sendiri!"
Topan balas mendelik, "Siapa? Lo barusan, tau!"
Mata Ardhi memicing sadis ke arah Topan, "Mate, gue tadi mencoba merayu dia biar ga meledak, dogol!"
Wimaya membeliak memutar-mutar bola mata tanda tak percaya. Topan dan Ardhi yang duduk di jajaran paling belakang baris mereka, adalah anak Klub Sepak Bola dan jago berenang. Tubuh mereka jelas sehat, kuat, berbentuk. Mereka berdua juga personil band indie terkenal yang kerap memainkan lagu-lagu tahun '90an. Paras mereka yang apik didukung tinggi badan menjulang, dengan sendirinya menjadikan mereka idola sekolah.
Sayang, pikiran mereka cuma dua jengkal. Lumayan sih ketimbang sejengkal. Menurut Wimaya, mengingat mereka satu band dengan Duma, biang tantrum Abeline, seharusnya mereka cukup hanya diam. Orang lain boleh protes, boleh menyindir Abeline dengan tantrumnya, tapi tidak mereka berdua. Tidak juga setiap sahabat Duma. Semisalnya mereka mau perhatian atau membereskan masalah ini, bagusnya mereka ajak saja Abeline makan Es Campur di kantin, sambil mencoba menjadi konsultan yang bijak.
"KALIAN! Berani-beraninya!" gemetar Abeline berkata menahan emosi.
Ardhi seketika menatapnya terpana. Dalam benaknya, dia sedang memberi special EFX pada sosok Abeline.
Background langit kelam tersambar halilintar, blower dari bawah.
Gagal fokus dia pada akhirnya. Otak Ardhi memang goncang akibat kebanyakan nonton film. Visual segala sesuatu, selalu ia kaitkan dengan film hingga jadi lebih dramatis. Cita-citanya bahkan menjadi Director of Photographs seperti Om Pao. Faozan Rizal, sutradara film Ainun Habibie yang pertama.
Buat Ardhi hal macam itu keren luar biasa. Jadi, Abeline di mata Ardhi kini layaknya tokoh prajurit cewek tangguh yang siap mengeksekusi.