Ardhi menatap Abeline yang kembali temperamental begitu dimintainya menyanyikan Little Talks bersama The Monroe Dean. Bersama Duma. Abeline sungguh tak habis pikir ada di mana hati para cowok.
Selama ini dia selalu diberi tahu orang-orang dewasa, didukung berita dari berbagai media, bahwa lelaki memiliki kecenderungan lebih logis dalam berpikir dengan cara yang tak mudah dipahami perempuan. Dan, karena alasan itu dirinya mudah memaklumi kelakuan egois dan menyebalkan cowok-cowok sebaya yang otak dan hatinya belum terkoneksi dengan sempurna.
Tapi, kini Ardhi sungguh keterlaluan. Seegois apapun seseorang harusnya tetap bisa berpikir dengan kepala dingin. Bahwa mengajak dia yang bermusuhan dengan Duma, untuk bernyanyi bersama satu panggung, dalam acara Pensi bulan depan sudah masuk kategori di luar nalar.
Tampaknya memang sengaja Duma dan antek-anteknya ingin menginjak-injak harga dirinya. Begitu pikir Abeline.
Ardhi berusaha tak alihkan matanya dari Abeline, menerima saja sorot mata marah yang sebetulnya mengacau perasaannya.
"Kalian semua itu sama aja. Komplotan cowok sok keren!"rutuk Abeline.
Ardhi membeliak mengangkat alis lalu meringis. Ia putuskan sejak awal untuk memahami Abeline, "Ga gitu. Kita cuma minta baik-baik kok. Demi pensi?"
"Enggak mau! Dan, enggak bakal pernah mau!" gerutu Abeline.
"Dipikirin lagi dong, Bel. Kan bisa jadi ajang unjuk gigi." ujar Ardhi asal.
Abeline ternganga menatap Ardhi dengan mata memicing, "Lo sama Duma gak ada bedanya. Unjuk gigi apa? Gue enggak butuh! Orang-orang tau gue bisa nyanyi, itu cukup. Ga ada pentingnya maen bareng Duma and the gang!"
"Ini yang minta bukan Duma kok. Gue ma Gani."
Abeline menggemeretukkan giginya, "Jangan bawa nama Gani. Dia tuh salah gabung sama band kalian! Malaikat di antara demons!"sungutnya.
Ardhi menatap Abeline. Ia terkejut mendengar Abeline bicara begitu tentang Gani. Sepertinya ia kenal baik Gani. Tak Ardhi sangka sama sekali. Otaknya berputar cepat agar Abeline mau menyanyikan Little Talks bersama band. Sebuah ide muncul. Ardhi pikir sungguh cemerlang, secemerlang matahari pagi.
"Sini, duduk. Denger gue baik-baik."kata Ardhi menarik Abeline supaya duduk di depannya.
Abeline menurut meski bersungut-sungut. Tetap galak ia menatap Ardhi yang kini mulai hilang fokus akibat berbagai efek bersliweran di otak dan benaknya. Khusus untuk Abeline saat ini.
"Abel, lo ga mau karena ada Duma'kan?"
Abeline berjengit, "Juga ada lo, Topan, dan Jonas!"
Ardhi menahan diri untuk tidak nyinyir mendebat Abeline, "Lo ma Duma harus menyelesaikan urusan cokelat yang makin rese aja nih."
Abeline menengadah dan mengerang kesal, "Bawel lo, Dhi! Itu urusan gue ma Duma. Kalo dia ga punya niat buat lurusin semua, ya udah. Gue bakal tetap sebel sama dia dan juga antek-anteknya." pungkasnya.
"Ya ga adil dong! Gue ma Topan malah bisa dibilang sama sekali ga berdosa. Kita taunya aja dari orang-orang. Bukan dari Duma atawa lo!"
"Lo pikir adil apa buat gue dianggap mencuri pacar sahabat sendiri? Duma tuh yang bikin orang-orang mikir gitu! Seneng banget dia dianggap piala rebutan!"
Ardhi menghela nafas karena ia tahu Abeline benar. Tak salah juga dia meradang selama ini. Namun, tidak lucu kalau sampai akhir tahun nanti dia terus meradang. Sampai nanti waktunya Duma lulus. Kali ini ia setuju dengan Abeline, Duma memang keterlaluan.
"Denger ya, gue ga masalah mau satu sekolah musuhin gue asal yang gue sayang ada di sebelah gue. Tapi, sekarang ini Rayya musuhin gue! Temen-temen kami jadi ga akur juga karena ada yang bela Rayya, ada yang bela gue. Terus, Duma? Wah! Malah besar kepala disebut jadi rebutan. Bener-bener ga punya otak! Hina tau cowok kayak gitu. Hina, Dhi!"
Ardhi mengangguk, "Jadi, bagusnya, gini, anggap pas pensi ini kita perjelas semuanya. Lo maen bareng kita. Kasih liat ke semua orang lo gak lagi musuhan sama Duma. Itu bisa bikin orang-orang ngerti kalau lo ga ada perasaan sama Duma."
Abeline menatap Ardhi tak berkedip, tak lama ia berdiri,
"Tolol kok dipiara sih, Dhi!"gerutunya meraih tas.
Dia bersiap pergi. Ardhi spontan menarik lengan Abeline sambil menatap penuh harap agar tetap di sini.
"Bel, please dong. Denger dulu."
Abeline menghentakkan lengannya tapi Ardhi tak melepasnya.
"Dogol, kalo gue maen bareng Duma, orang-orang mikirnya gue berhasil sukses menaklukkan Duma. Nah, yang jelek gue lagi. Duma tetap dipuja. Ogah gue jadi agen pendukung popularitas dia!"umpat Abeline.
Ardhi tetap menggenggam lengan Abeline. Ia pun membenarkan kalimat Abeline.
"Tapi, di atas panggung lo bisa pancing Duma buat memperjelas."
"Oh Tuhan, dongo bener si Ardhi ini! Gue disuruh klarifikasi di public event gitu? Mate, otak lo di mana? Bikin malu aja!" geram Abeline menyudutkan Ardhi.
Ardhi manyun disindir begitu. Ia melepas tangan Abeline, "Yang penting usahanya, Bel."
Abeline menatapnya lama. Perlahan ia kembali duduk di depan Ardhi. Abeline kemudian berpikir. Ia sangat ingin berbaikan dengan Rayya, siapa tahu Ardhi bisa memberinya ide, asal tidak melibatkan Duma.