Abeline, yang memakai gaun linen turqoise sebatas lutut dengan rambut terkepang juga scarf sutra berwarna kelabu menghias rambutnya sebagai bandana -serasi juga manis, memukau tidak hanya Ardhi. Duma juga terpana, berhenti dari ulah iseng mematahi gabus yang ia temui di panggung auditorium. Topan berdiri terpaku tak percayai matanya melihat singa menjelma peri. Jonas dalam hati merutuki diri tidak ikut bertaruh dengan Duma dan Ardhi untuk dapatkan Abeline. Gani bersiul, langsung jujur memuji Abeline.
“Cantik.”
Abeline tersenyum manis pada Gani, namun tak lama menunjuk Duma dengan mata nyalang,
“Ngapain dia di sini?” tudingnya emosi.
Duma terperangah. Ia dengar dari semua orang Abeline membencinya kini. Tak ia duga sampai seperti ini kebencian Abeline.
“Gue’kan bilang kita berdua, bukan gue dan The Monroe Dean!” seru Abeline sebal menatap Ardhi.
Ardhi meneguk ludah, “Iya. Tapi kita ini abis latihan. Baru aja selesai.”
“Gue pengen lihat lo nyanyi, Bel.” ujar Gani coba menenangkan.
Abeline melirik, “Gue gak keberatan sama lo, Gan. Gue hanya gak suka ada dia.” sergahnya lalu berbalik.
Ardhi spontan melangkah lebar-lebar menuruni tangga rendah auditorium guna meraih lengan Abeline. Guna mencegah gadis itu pergi.
Duma memperhatikan. Dirinya yakin pasti Ardhi sedang tergila-gila Abeline. Andai gadis lain, pasti sudah besar kepala menceritakan hal-hal tidak penting. Misal Ardhi mengejarnya atau Ardhi memohon-mohon. Sungguh sayang Abeline tidak begitu. Otak Abeline bekerja macam shorcut langsung ke tujuan, tidak belok ke manapun apalagi berputar-putar dalam prasangka romansa. Sebuah hal yang Duma sangat sukai.
“Ayo dong, Bel. Duma juga udah mau pulang.”
Abeline menatap Ardhi dan menarik lengannya, “Baguslah. Gue tunggu di koridor. Kita mulai abis dia pergi.”
Duma berdecak dan mendekati Abeline, “Dasar kejam.”
Abeline mendengus lalu berjalan menuju pintu.
“Gue keluar sekarang. Lo bisa mulai latian.” seru Duma.
Abeline berhenti kemudian berbalik. Ia merengut pada Ardhi tapi mendelik memandang Duma. Seperti bersiap berseteru dengan Duma.
Duma, meski melangkah penuh percaya diri sembari tersenyum misterius, sangat merasa kecewa mendapati reaksi Abeline terhadapnya.
Tak menyapa saat berselisih jalan, menghindar satu ruangan dengannya masih bisa Duma pahami. Tapi menunjuk marah dirinya di depan teman-teman cukup meruntuhkan hati.
“Latian yang baik, jangan bikin malu Ardhi!” kata Duma.
Abeline memandangnya tanpa ekspresi, membuat Duma ingin melunakkan hati Abeline. Di sebelah Abeline, Duma berhenti melangkah.
“Kenapa sih?” tanyanya.
Abeline menggerutu tak jelas, menghentakkan kaki kemudian setengah berlari menuju pintu. Ardhi terkejut, bergegas menyusul Abeline, merentangkan tangan di depan pintu.
“Minggir!”
Geram Abeline berkata pada Ardhi.
Ardhi menggeleng menatapnya.
“Awas!”
Ardhi merapat pintu, mempersulit Abeline membuka pintu.
“Ardhi!”
“Kita latian! Anggap Duma ga ada. Apa susahnya?”
Abeline menghela nafas, “Gimana cara kita latian kalo mood gue lari tiap liat dia?”
Duma menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal, “Please, Bel. Ada apa sih sebenernya? Kayaknya ga perlu juga lo segitunya ma gue.” serunya dari kejauhan.
Abeline membeliak mendengar kalimat Duma. Ardhi menoleh Duma dan memberikan tatapan penuh arti, bermaksud meminta Duma untuk keluar saja. Senior itu malah cengengesan seraya menggeleng padanya. Ardhi berdecak,
“Gue mau latian, Dumaaaa.” gerung Ardhi.
Duma menatapnya, “Gue enggak akan membiarkan lo leluasa, Mate.”
Ardhi tak percaya ini. Duma tak pernah menyimpan rahasianya, tak keberatan mengumbar hatinya, tapi dia beda. Sambil melototi Duma, Ardhi pura-pura tak pedulikan sorot mata Abeline yang bertanya. Melihat kini Ardhi pada Duma, berkata hati-hati,
“Mate, please?”
Duma mengangkat alis, “Okay, silakan. Gue bakal di sini, janji ga bakal bersuara. Bungkam.” tukasnya melompat ke bangku penonton.
Duma berubah pikiran tak jadi keluar. Ardhi memandangnya lama sebelum putus asa berkacak pinggang lalu menggandeng Abeline ke panggung. Jonas dan Gani beringsut perlahan mendekati Duma. Abeline terus-terusan mencoba melepaskan tangannya. Ardhi tak turuti. Dekat grand piano, baru ia lepas genggamannya pada jemari Abeline.
“Gue gak mau latihan.” sungut Abeline dengan suara tertahan.
Ardhi menghela nafas lalu duduk di bangku piano sambil sekilas melirik seram pada Duma. Abeline mendengus namun ia ambil tempat di sebelah Ardhi.
“Lo denger ga sih, Dhi?”
Ardhi diam saja memandang tuts piano yang berdebu. Menempatkan tangan, mencoba sampai sejauh mana ia bisa menjangkau. Abeline terus menatapnya, menduga-duga apakah Ardhi bisa juga bermain piano dengan baik.
“Ya. Makanya kita maen piano aja.” ujar Ardhi menekan satu nada tinggi.
Abeline masih menatapnya yang kini berdiri dan mencoba mendengar bunyi yang dihasilkan grand piano tua di auditorium tersebut. Ada nada yang meleset. Abeline mendongak saat Ardhi kembali memperdengarkan nada yang kembali luput. Tuts itu ditekan berulang oleh Ardhi yang kemudian menggerutu,
“Dammit. Gue ga bisa nyetem piano.”
Abeline mengernyit, “Tidak masalah lo ga bisa ngatur piano, toh orang-orang pun gak ada yang bisa.”
Ardhi menoleh dan tersenyum, “Emang. Tapi gue suka gatel denger yang ga pas.”
Abeline menatap Ardhi lama, “Lo macem anak classic music aja.” selorohnya.
Ardhi mengangguk, “Eyang gue pianis.”
Abeline mengangguk-angguk, “Oh, I see.”
Ardhi tersenyum lalu memandang jajaran balok kecil di depannya. Matanya berkilat cerah, mengejutkan Abeline sampai lupa akan kehadiran Duma di bangku penonton. Auditorium terasa kosong saat Ardhi memainkan intro The Flight of Bumblebee dari Maksim Mrvica. Abeline tak berkedip menatap jari-jari Ardhi yang lincah menari memberikan tekanan lebih pada balok-balok tertentu sehingga alunan terkenal itu terdengar benar. Abeline menahan diri untuk tidak meletakkan jemarinya di bar, ikut campur permainan Ardhi.
Abeline tak tahu Ardhi bermain piano juga. Ardhi sungguh mengejutkan Abeline sampai gadis itu cuma bisa menatap jari-jari Ardhi sambil sesekali memperhatikan tampang si empunya jemari yang begitu ekspresif.
Menggemaskan, batin Abeline berseru.
Abeline tak menyadari di bangku penonton Duma duduk di antara Jonas dan Gani. Kakinya terjulur lurus ke bangku depannya sambil bergumam-gumam menilai Ardhi berlari makin cepat mendekat pada Abeline, si Gadis Taruhan.
“Wow. Koneksi mereka kuat banget.” desis Topan yang tahu pasti selama di kelas Abeline tak pernah duduk-duduk bicara bersamanya dan Ardhi yang sering disambangi teman-teman perempuan lain.
Gani tertawa tertahan, “Gue seneng liatnya.”
Duma terus memperhatikan mereka- Abeline yang lurus saling tatap dengan Ardhi, sementara Ardhi tetap mainkan Bumblebee itu dengan sempurna.
“Non sense.” desisnya saat mendapati Ardhi tertawa lepas pada Abeline yang menanggapinya dengan senyum lebarnya yang manis.
“Uh-oh, Duma kebakaran jenggot.” gumam Gani.
Jonas terkikik, lalu sebuah lagu yang mengalun menghentikan seketika omong-omong ketiganya. Di atas panggung, Abeline masih menatap Ardhi yang kini memainkan You. Lagu cinta lintas masa kesukaan kakek nenek yang diturunkan pada anak cucu.
“Uh-oh, Duma sungguh kebakaran jenggot.” gumam Topan geli.
Gani membenarkan letak kaca matanya sambil terus memperhatikan dua orang itu. Begitu juga Duma yang kelihatan sedang berpikir. Mempertimbangkan segala sesuatu berdasarkan pengamatannya terhadap Abeline dan Ardhi, Duma menganggap keduanya sungguh “klik”.
Pintu auditorium terbuka. Beberapa orang masuk tanpa suara berusaha tidak mengganggu kedua orang di atas panggung. Duma, Jonas, Gani dan Topan tak peduli. Suara Abeline yang melantun jernih menghipnotis mereka sampai keempatnya duduk dengan punggung tegak. Terkejut. Duma memandang lengannya, menyadari dirinya merinding sampai semua rambut halus di situ berdiri. Jonas menahan nafas sementara Gani dan Topan tersenyum.
Ardhi di atas panggung terus memainkan piano dengan tak lepas memandang Abeline. Sungguh mati ia terpukau dengan segenap sadar merasa campur aduk sampai perutnya serasa diacak. Gadis cantik bersuara emas yang bisa menyanyi tentu sangat melumpuhkannya. Sangat ia inginkan. Sosok Abeline sempurna tanpa special-effects apapun kini di benaknya.
Waktu lagu selesai, Ardhi sedikit kecewa. Abeline menghela nafas lalu tertawa kecil. Ia menoleh dengan mata berbinar menatap Ardhi,
“Gue pikir cuma gue yang tahu YOU! Lo tau lagu Basil Valdez juga!” serunya antusias.
Ardhi diam sejenak, “Gak mungkin lagu romantis macam ini luput dari kamus gue.” katanya kemudian berlagak datar sok keren tak terpengaruh.
Abeline tersenyum simpul, “Lo hapal buat merayu?”selorohnya.
Ardhi berdecak, “Begitulah. Sial, lo kok ngerti?”
Abeline mengangkat bahu, “Mama gue bilang Papa merayu pake You, sambil main gitar.”