Cold Breath

Yunita Widia
Chapter #3

2th Keluarga

Wajahnya terlihat semakin segar, setelah ia keluar dari kamar mandi yang berada di kamarnya. Ia mengosokkan rambutnya yang basah sehabis keramas dengan handuk kecil berwarna tosca. Cowok itu mengedarkan pandangannya ke penjuru ruang kamarnya ini, kamar yang didominasi dengan warna abu-abu dan putih, dengan desain interior yang klasik. Panji sangat menyukai ruangan ini, baginya kamar ini adalah tempat ternyaman.

Maka dari itu Panji tidak pernah mengizinkan orang asing untuk memasuki kamarnya, hanya orang-orang terdekatlah yang boleh masuk.Tapi beberapa hari ini ia jarang menempati tempat ini karena dia harus menginap di sekolahan. Tahun awal pengajaran, Panji sebagai anggota baru organisasi tentuk disibukkan dengan program kerja. Apalagi beberapa minggu lagi kegiatan yang ia ketuai akan segera digelar.

Dia keluar dari kamarnya dengan memakai kaus berwarna putih serta celana training selutut.

"Udah salat magrib belum Bang?" Seorang wanita berhijab yang usianya hampir 37 tahun itu bertanya pada Panji. Dia adalah Syifa, Ibunda Panji, usianya memang masih muda. Dulu orang tua Panji memang menikah di usia yang masih muda, dan bukan karena hamil duluan, mereka berdua menikah murni karena cinta dan sayang. Syifa melahirkan Panji saat usianya masih 20 tahun.

"Udah Ma." Panji beranjak ke ruang keluarga, terdapat karpet untuk duduk bersantai. Dia mengamati televisi yang menayangkan berita perkembangan Billboard Award.

"Capek ya Bang jadi ketua?" Syifa menghampiri putra sulungnya itu, wajahnya terlihat kelelahan.

"Kalau mau bilang ngga capek sama aja bohong Ma, capek sih emang iya. Tapi udah jadi tugas ya jalanin aja."

Panji tersenyum pada wanita di depannya, di usianya yang hampir berkepala empat, Syifa masih terlihat cantik dan segar. Pikiran Panji selalu berucap, Mama adalah perempuan yang baik dan sabar, maka dari itu wajahnya selalu terlihat cantik.

"Betul Bang, Allah memberikan kita waktu malam untuk beristirahat. Jadi kalau tidur jangan larut malam ya Bang, Mama bakal marah sama kamu kalau tidur kemaleman. Oh ya, sama kalau tidur hpnya dimatikan aja, itu cuman buat tidur kamu ngga nyaman."

Panji merebahkan tubuhnya di atas tikar. "Jadi pengen tidur sekarang Ma."

"Heh, ngga bagus kamu jam segini tidur. Nanti setelah salat isya kamu bisa tidur sepuasnya. Eh ngga juga deh, besok harus bangun tepat waktu."

Seperti seorang Ibu pada umumnya, cerewet. Rasa peduli mereka yang membuatnya menjadi cerewet.

Mereka berdua mendengar suara cekikan dari teras, yang makin lama semakin keras.

"Alika kamu tertawa sama siapa?" Teriak Syifa, Alika adalah adik Panji yang saat ini berusia 5 tahun.

"INI MA, ALIKA DIGELITIKIN." Teriak anak kecil itu, masih diselingi tertawaan.

Lalu munculah dari balik pintu masuk, seorang cowok yang seumuran dengan Panji tengah menggendong Alika.

"BANG PANJI! MAMA! ADA BANG SIRSAT."

Syifa melotot. "Alika ngga boleh ngatain Bang Irsyad. Panggil namanya."

"Susah nyebutnya Ma, enakan Bang Sirsat."

Irsyad menurunkan Alika dari gendongannya ke karpet. "Jahat kamu ya, manggil Abang Sirsat. Mana ada buah seganteng Abang, secara Abang gantengnya nandingin Alan Walker."

Alika hanya diam, umurnya yang masih 5 tahun terkadang susah paham dengan ucapan orang dewasa.

"Bohong, orang nyebut huruf R aja udah bisa. Masa’ manggil nama Bang Irsyad aja ngga bisa." Syifa menukas.

"Habis Bang Sirsat suka nakal sama aku, jadinya aku panggil Bang Sirsat. Ma buah sirsat itu enak loh."

Syifa mengusap rambut putrinya itu. "Ngga boleh, kamu harus manggil namanya."

"Irsyad nggapapa kok Tante, anggap aja itu panggilan kesayangan." Irsyad menyengir, kedatangannya tidak disambut sama sekali oleh Panji, cowok itu malah asyik menonton tivi.

Alika turun dari gendongan Irsyad. "Papa dimana Ma?"

"Papa lagi di dapur, katanya mau bikin pasta." Gadis kecil itu langsung pergi ke dapur untuk menemui Satria.

Papa Panji merupakan lelaki blasteran Indonesia-Italia yang bernama Satria, pria itu lahir dan tinggal di Bandung. Dulu sewaktu lulus SMA, dia melanjutkan pendidikannya di Italia lalu kembali lagi ke Bandung di usianya yang masih 22 untuk menikah dengan Syifa.Sedangkan Syifa, keturunan Bandung asli.

Satria memang suka memasak, meski hasil masakannya tidak seenak koki andal. Makanan yang dibuat Satria layak untuk dimakan mereka berempat sekeluarga.

"Tante malam ini Irsyad nginep di sini ya?" Rumah Irsyad dekat dengan rumah Panji hanya beberapa langkah mungkin sudah sampai. Panji dan Irsyad dulunya tidak akrab ketika masih balita, mereka lekas berteman ketika masuk bangku SD.

"Ya boleh dong, kamu tuh kayak orang asing aja. Kita kan keluarga."

Panji melotot seperti tatapan penembak. "Awas aja lo, kalau berantakin kamar gue. Lusa lo tinggal nama doang."

"Tuh Tante Panji jahat sama Irsyad." Cowok itu mengadu pada Syifa, Panji sudah terbiasa mendengar hal seperti itu, cukup diabaikan saja.

"Ya kamu juga pengertian dong sama Panji, kalau dia ngga suka tempat yang berantakan. Kamu jangan berantakin kamar dia. Syukur-syukur bantu bersihin."

Irsyad diam, ingin rasanya ia pulang dan mengadu pada Ibunda tercinta.

Suara azan Isya terdengar, mereka menunaikan ibadah salat berjamaan dengan diimami Satria.

Kini Panji dan Irsyad berada di kamar. Cowok itu duduk di depan meja belajar dengan menatap layar laptop. Ia mengoreksi semua dokumen mulai dari surat, run down acara, hingga daftar tamu undangan kegiatan Haornas.

Irsyad berguling di ranjang Panji, cowok itu memeluk guling, lalu mengamati pergerakan sahabatnya itu.

Hidup Panji terlihat tidak asyik. Batin Irsyad.

"Eh Nji, adik kelas cantik-cantik loh, terutama yang anak IPS sama Bahasa." Celotehnya yang tidak mendapat respons sama sekali dari Panji.

Panji memilih untuk diam, toh ucapan Irsyad tadi bukanlah pertanyaan yang perlu dijawab.

"Mereka banyak yang daftar ekskul basket."

Cowok itu masih fokus pada layar laptopnya. "Udah tahu."

Lihat selengkapnya