Binar yang telah selesai mandi dan sudah berpakaian rapi segera mengambil tasnya. Seraya melihat pada arloji yang melingkar di tangannya, Binar memastikan ayahnya sudah masuk rumah, dan ia bisa keluar lewat jendela kamarnya.
Setelah merasa aman, Binar membuka jendela kamarnya, badannya yang kecil memudahkan ia untuk keluar dari sana. Pukul setengah sembilan malam, Kota Kembang malah tambah ramai, mudah sekali bagi Binar untuk menemukan transportasi untuk membawanya pergi dari rumah.
Tidak membutuhkan waktu yang lama, Binar sampai di salah satu tempat ngopi. Banyak sekali orang-orang yang tengah menghabiskan waktunya disana. Ada beberapa laki-laki yang tengah merokok, begitu juga ada yang sedang mengerjakan tugas kuliah.
“Beda lah yang udah punya kecengan baru mah, datang sambil senyum-senyum sendiri,” gumam Fina ketika Binar baru tiba.
Binar tertawa, “Hahaha jiwa sok tahu-nya keluar nih.” Perempuan itu segera duduk di bangku kosong yang tersedia untuknya. “Biasa, harus keluar lewat jendela kamar, nunggu bokap balik. Tahu sendiri kan gimana susahnya keluar dari kandang singa?”
“Masih nggak dibolehin keluar malam-malam? Udah gede kali,” komentar Ghina.
“Biasa, anak sematawayang. Susah,” jawab Hani.
Malam itu Binar kembali berkumpul dengan teman-teman SMA-nya. Biasanya Binar akan pulang setelah mendekati larut malam, supaya orang tuanya sudah terlelap.
“Eh ya, gimana kecengan barunya? Aman?” tanya Ghina.
Binar menggeleng, “Gue nggak tahu pasti sih dia itu termasuk kecengan gue atau bukan. Pokoknya gue akuin, dia itu ganteng, tapi rese!”
“Udah punya Saga tapi masih jelalatan ya ni anak,” ujar Ilana.
“Gapapa, penghibur doang,” kata Binar santai. “Asal kalian tahu guys, gara-gara laki-laki ganteng rese itu rambut gue nyangkut di pintu wc." Binar mengembuskan napasnya, "And you know, rambut gue nggak bisa keluar, dan terpaksa digunting sama kating. Nih lihat." Binar memperlihatkan rambutnya yang tidak bermodel.
Ilana memukul-mukul meja, ia tertawa terbahak-bahak, “Lo tengil sih!”
“Perasaan gue anak baik-baik deh,” ucap Binar percaya diri, “Tadi pagi gue telat bangun, makanya ada kejadian dramatis kayak gitu.”
“Emangnya lo suka datang tepat waktu Bin? Kapan dah lo datang tepat waktu? Kasih tahu gue.”
Binar mengerucutkan bibirnya, “Nanti kalau fir'aun pada bangkit.” Binar mendesah kesal, “Argh, kalian juga yang buat gue telat bangun.”
“Kenapa?” tanya Ilana. “Tiba-tiba nyalahin kita.”
“Yang kemaren malem ngegosipin Ayana sampe jam satu malem siapa? Kalian kan?”
“Ya kalau lo mau hubungan lo sama Saga udahan, nggak usah minta bantuan sama kita untuk ngebongkar seluk beluk si Ayana,” bela Fina.
Binar ngengir, “Hehe iya deh maaf ya, itu semua bukan salah kalian kok hehe, tapi salah gue.”
Hani menunjukkan jari telunjuknya, “Nah!"”
“Ini salah gue, tapi semuanya gara-gara kalian haha!”
Dan selanjutnya wajah Binar ditimpuk oleh tempat tissue yang ada di café itu. Begitulah Capsici Squad, kumpulan lima orang perempuan yang sering ghibah dan bermulut pedas.
“Gila lo. Awas aja kalau ada yang ingin dibayarin nyalon lagi sama gue!” ancam Binar. “Besok gue mau nyalon!”
“Bodo amat.”
Saat waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, mereka bubar dari café tersebut. Binar pulang menggunakan taksi.
“Darimana kamu?!” mata ayah Binar menatap tajam pada putri perempuannya yang baru membuka pagar secara diam-diam.
“E—eh itu yah, dari—”
“Ayah kira kamu bakalan berubah setelah masuk kuliah,” Arfan mendecakkan lidah, “Kamu makin membuat ayah sulit percaya lagi sama kamu.”
Binar menjatuhkan tubunnya ke tanah, memegang kaki ayahnya erat-erat, “Yah... Maafin Binar, tadi Binar dari rum—”
“Bohong!” semprot Arfan, “Ayah tahu, kamu habis kumpul sama teman-teman kamu.”
Binar berdiri tetapi wajahnya menunduk, “Tapi Binar nggak ke club kok, Yah, cuma diem di kafe aja.”