“Dav, yang ambil konsumsi siapa?” tanya seorang laki-laki pada Dava yang tengah duduk di bangku kesekretariatan.
Hari itu ada beberapa panitia yang tidak bisa datang karena sakit. Dava pusing memikirkan semuanya karena jobdesc tiap divisi berantakan.
Dava memutar bola matanya jengah, “Kok malah nanya sama gue? Kan udah ada jobdescnya masing-masing. Emangnya menurut lo dibuat divisi buat apa? Kan supaya kerjaannya terarah. Kalian bukan anak kecil lagi. Jangan sedikit-sedikit nanya, ngeluh, atasi dulu sendiri, kalau udah nggak bisa teratasi nanti gue bantu,” jawab Dava.
“Bukan gitu, Dav, semua anggota konsumsi udah megang kerjaannya masing-masing. Mereka nggak mungkin ninggalin kerjaannya. Lagipula ngambil konsumsinya butuh waktu.”
“Nggak ada perencanaan dari awal? Plan A, plan B, kek. Atau nggak jaman gini pake gosend aja gampang,” kata Dava enteng.
Aidan yang tidak sengaja menguping perdebatan itu mendekat, “Ya udah sini, saya bantu, mana notanya?” Kedatangan Aidan yang tiba-tiba membuat Farhan dan Dava menoleh.
Farhan merogoh nota belanja konsumsi yang ada di saku celananya kemudian memberikan secarik kertas itu pada Aidan.
“Mau gue temenin, Dan?” tawar Farhan.
“Nggak usah, saya bisa sendiri.” Aidan langsung pergi sebelum mendapat anggukan dari Farhan.
Aidan pergi ke gerbang terlebih dahulu untuk izin kepada dua komdis yang berjaga, dan bilang kepada mereka bahwa Aidan akan mengambil konsumsi di tempat catering.
“Kak! Kak Aidan!” Seorang perempuan yang memakai pakaian serba hijau stabilo dari atas hingga kebawah berlari-lari setelah turun dari angkot.
Aidan diam di tempat ketika perempuan itu memanggil. Laki-laki itu melihat pada jam yang melingkar di pergelangan tangannya, sudah pukul tujuh lebih lima belas.
“Kak, izinin gue masuk dong, plis.” Binar memohon pada Aidan.
Baru saja Aidan membuka mulutnya untuk mengambil napas, Binar langsung menyerbu, “Plis, plis, plis, Kak, gue udah capek-capek naik angkot, masa di suruh pulang?” jeda sebentar, “Gue telat bangun Kak, sumpah beneran, gue nggak bohong.”
Aidan menarik napasnya, “Terus?”
“Tadi pagi pas habis Kakak telepon, gue ketiduran Kak.”
“Ya udah, lanjutin tidurnya, pulang.” Aidan bersuara tanpa intonasi.
“Alasan yang sama," komentar salah seorang komdis, "Ikut ospek tahun depan aja kalau sekarang nggak siap.”
Mata Binar memerah, ia tidak mau mengulang ospek yang sangat menyebalkan ini di tahun depan, apalagi bareng adik-adik yang baru masuk. Binar nggak mau, semuanya ribet.
Binar memegang tangan Aidan dengan erat, keningnya ia landaskan di lengan Aidan, “Plis, Kak, gue mohon, gue pengen ikut ospek.”
Kedua komdis yang berada disana saling memandang karena melihat kejadian terlarang yang seharusnya tidak ada yang berani melakukan itu.
Binar menyentuh tangan Aidan.
Aidan tidak suka disentuh oleh perempuan yang bukan mahromnya.
Aidan memberontak untuk melepaskan tangannya dari jeratan Binar, “Nggak usah pegang-pegang.”
Setelah jeratan tangan Binar terlepas, Binar masih berusaha memegang tangan Aidan, “Plis, Kak, plis. Gue janji nggak akan telat lagi.”
Aidan mundur beberapa langkah, “Jangan paksa saya untuk membentak.”
Binar diam, matanya yang bulat fokus menatap lurus pada mata hazel Aidan, “Plis, Kak ...” Binar memohon dengan wajah manis.
Astagfirullah, Aidan menundukkan wajahnya, ia telah bertatapan dengan perempuan yang bukan mahromnya. Laki-laki itu mengambil napas dalam-dalam lalu membuangnya secara perlahan, “Masuk.” Jeda sebentar, “Kalau besok telat lagi, ikut ospek tahun depan.”
Binar mengangguk cepat, “Makas—" ucapan Binar terhenti ketika Aidan telah pergi menuju mobilnya yang terparkir disebelah mini market.