Di sebuah Universitas swasta kota Bandung, ada seorang mahasiswa baru yang dijuluki dengan sebutan ‘Rapunsel’. Dia adalah Binar Yumna Ananta, seorang perempuan yang memiliki tubuh kecil dengan rambut panjang yang indah.
Namun nahas, sebutan rapunsel itu bukan ditujukan karena wajahnya yang cantik seperti Rapunsel. Tapi sebutan itu mulai mencuat ke seluruh penjuru kampusnya karena rambut panjang Binar menyangkut di sela-sela pintu.
Ceritanya bermula ketika masa orientasi mahasiswa baru, saat semua kakak tingkat berubah menjadi monster yang menyeramkan. Semuanya berlomba-lomba untuk acting menjadi tokoh antagonis.
Saat hari pertama masa orientasi dilaksanakan, Binar bangun terlambat karena malamnya ia berkumpul dengan teman SMA-nya. Hari itu Binar melanggar beberapa hal dalam peraturan ospek, yakni:
1. Tidak boleh membawa kendaraan pribadi.
2. Tidak boleh memakai make up.
3. Tidak boleh membawa ponsel.
4. Tidak boleh datang terlambat.
Binar yang memakai kaos berwarna hijau stabilo dengan kaos kaki dan kursi goyang berwarna senada tiba di gerbang fakultasnya pukul tujuh tepat. Binar benar-benar terlambat karena seharusnya pukul enam pagi ia sudah kumpul di lapangan.
Dengan percaya diri Binar menjalankan motornya ke depan gerbang. Ia mengangkat kaca helm coklat andalannya ketika melihat gerbangnya sudah ditutup.
“Apa ada orang disana, hei? Bisa bukain gerbangnya?” tanya Binar berharap ada yang sudi membukakan gerbang untuknya.
Tak lama setelah itu datang dua orang laki-laki yang mengenakan pakaian serba hitam dengan menampilkan wajah jutek. Kedua tangan mereka bersilang di atas dada, matanya menatap tajam pada Binar.
“Ngapain sok jutek gitu? Halah, gue juga tahu kalian komdis, kan? Bukain pintunya. Gue mau masuk,” suruh Binar sambil menatap tajam balik.
Kedua laki-laki itu disebut dengan ‘komdis’ atau kepanjangan dari Komite Disiplin. Mereka bertugas untuk membentuk sikap disiplin pada mahasiswa baru dengan cara tanda kutip. Artinya, mereka suka marah-marah tidak jelas, selalu mempermasalahkan hal kecil, dan orang yang tidak salah pun suka dicari kesalahannya. Mungkin itulah cara untuk membentuk mental generasi milenial dalam menghadapi kerasnya dunia perkuliahan? Ya, mungkin.
“Heran, ini kan hari pertama ospek, masa gue nggak dibolehin masuk sih?” Perempuan dengan tinggi 150 cm itu mendesah.