Kafe begitu riuh dengan teriakan tidak terima kala sang penyanyi mengumumkan bahwa hari ini adalah hari terakhir dirinya tampil di sini. Sebab esok hari, dirinya harus merantau ke kota sebelah demi pekerjaan baru.
Namun keriuhan itu tetap tidak bisa menembus selubung dingin yang kini tengah membalut jiwa dan raga Abel.
"Kedua kalinya dan kamu gagal lagi," ucapnya datar. "Jadi sebenernya kamu belajar dari kesalahan apa nggak?"
"Aku belajar, kok. Semua soal latihan yang kamu kasih juga, aku udah pelajari semua." Abel berusaha membela diri.
Mata gelap Arvin menatapnya dengan tajam. "Kamu nggak serius, kan? Kamu pasti sibuk sama desain-desainmu itu."
Abel menggeleng. Kakinya yang saling bertumpu bergerak-gerak gelisah.
"Nggak. Aku udah berhenti terima proyek buat fokus sama ujian," jawab Abel, lalu membasahi bibir yang terasa kering.
Arvin menghela napas panjang, lalu menutup laptop yang ada di hadapannya. Lelaki itu masih memakai kemeja kerjanya. Kemeja putih pemberian Abel itu tampak sempurna membalut pundak gagah milik Arvin. Melihat Arvin yang kecewa, Abel menunduk dan menyesap minumannya sendiri.
Dua kali, Bel, dua kali.
Sudah sejak tadi malam Abel berkubang dalam rasa kecewa pada diri sendiri. Padahal, Abel sudah belajar seperti instruksi Arvin, sudah melimpahkan proyek yang tidak sempat diselesaikannya pada Sharga-walaupun dia tahu itu sama sekali tidak profesional-, demi fokus pada ujian. Tapi hasilnya masih tetap mengecewakan.
"Gimana kalau kamu buang semua program desainmu itu?"
Pertanyaan Arvin membuat Abel mengangkat wajah. Ia menatap Arvin tidak percaya.