Color Palette

Kartini Senja
Chapter #2

Desainer Freelance

Abel memutuskan bangkit dari kasur saat dia menyerah untuk tidur. Sejak semalam, Arvin tidak membalas pesannya, pun tidak mengangkat panggilannya.

Abel sudah berusaha sekuat tenaga, sungguh. Hanya saja, untuk hal-hal seperti ini, dia memang kurang beruntung. Sejak dulu, Abel menganggap bahwa Tuhan tidak pernah memberinya sesuatu dengan cuma-cuma. Untuk hadir dan bernapas di bumi saja, Tuhan menukarnya dengan sebuah beban yang tidak akan pernah bisa Abel hilangkan.

Ujian udah lewat, berarti bisa balik lagi kan...

Perempuan berambut bob itu ganti membuka emailnya, lalu berdecak kala membaca email dari Sharga yang penuh dengan nada emosi.

How's the sunshine?

Abel mulai membuka satu persatu email yang lain. Beberapa proyek sudah masuk dan menunggu konfirmasi, dua email notifikasi bahwa desainnya memenangkan kontes, dan beberapa notifikasi email dari Paypal.

You're back now? Good! What're u doin, Senorita?

I am sorry. So, is everything okay?

Abel memutar bola mata kala Sharga mengirim balasan panjang dalam bahasa Spanyol. Ditilik dari beberapa tanda seru, agaknya pemuda itu sedang mengomel. Pengetahuan Abel tentang bahasa Spanyol bisa dihitung dengan jari. Itupun karena dia harus berurusan dengan Sharga, pemuda Spanyol yang dikenalnya sejak seorang CH membawa mereka dalam satu proyek yang sama.

Masih pukul empat pagi. Perempuan dengan kamisol tidur berwarna kuning itu menyugar poni. Ia menyibak gorden, lalu membuka jendela kamarnya.

Jalanan kompleks masih lengang, tertutupi oleh kesuraman yang harus beranjak sebentar lagi. Embun masih menggantung di udara, beberapa tetesnya teruntai manis di ujung rerumputan, beberapa yang lain mengirimkan kesejukan di wajah Abel. Gadis itu bertopang dagu di kusen jendela, berpikir bagaimana caranya berbaikan dengan Arvin hari ini. Sebab, dia tidak pernah suka jika Arvin mendiamkannya. Abel akan susah berkonsentrasi pada pekerjaan dan mood-nya rusak seharian.

Menghela napas panjang, sepasang kaki jenjang itu membawanya pada satu-satunya meja yang ada di ruangan ini. Dia jelas belum mandi, dan garis-garis bantal masih tercetak di pipi. Tapi untuk bekerja, dia tidak perlu rapi dan wangi.

Berusaha menyingkirkan pikirannya yang keruh, Abel mempelajari satu persatu tawaran proyek yang masuk.

***

Sarapan bareng, yuk?

Pesan itu sudah terkirim sejak pukul lima pagi dan sudah terbaca, namun tidak dibalas hingga lima jam kemudian.

Lunch, di tempat biasa.

Demi membaca itu, dada Abel langsung terasa ringan. Gadis itu mengulas senyum kecil, sebelum mengirimkan emoticon berbentuk hati sebagai balasan. Arvin tidak membalas lagi, namun itu sudah cukup bagi Abel. Abel kembali menghadap pekerjaannya dengan perasaan seratus kali lipat lebih ringan.

Belum lagi sepuluh menit, sebuah pesan masuk. Membacanya, wajah ceria Abel perlahan mengeruh. Gadis itu menggigiti bibir, lalu memutuskan untuk menyudahi pekerjaannya untuk pagi ini.

Matahari tengah meraja kala Abel menghentikan motor maticnya di depan sebuah kafe. Siang ini, Abel mengenakan blouse pink motif floral yang bersanding apik dengan kulitnya. Jeans yang berujung pada wedges pink membalut kakinya dengan ceria. Membenahi slingbag-nya, Abel masuk dan langsung melihat sosok yang ia cari. Namun rupanya Saka tidak sendiri.

"Kura, kapan balik dari Jerman?" Abel menepuk bahu seorang pemuda, membuatnya terkejut dan menoleh dengan cepat.

"Kemarin sore," jawab Yasa dengan kalem. "Dan stop panggil gue Kura. Kappa beda sama Kura."

Abel terkekeh. Dia tahu, namun rasanya asik mengganggu Yasa. "Kappamiu. Ah, harusnya gue juga punya nama panggung, ya?"

"Jangan macem-macem. 'Sabela Nawandini' udah terlanjur dikenali. Lo bisa patenin nama lo kalau perlu." Saka menyela kali ini. "Pesen apa?"

"Saya merasa tersanjung, Kakanda Saka." Abel mengangguk takzim. "Gue pesen Caramel Macciato aja."

"Nggak nyemil?"

"Mau lunch sama Arvin."

Kedua lelaki itu mencibir bersamaan. Abel meninju bahu Yasa di sebelahnya, yang dibalas Yasa dengan mengacak rambut Abel tanpa ampun.

"Yas! Ishh!" Abel menjauhkan Yasa dari tubuhnya sambil menggerutu, sementara Yasa terkekeh.

"Mumpung lo di sini, gue pinjem graphic pe--lho, lo nggak nugas?" tanya Yasa kala menyadari Abel tidak membawa tas ranselnya seperti biasa.

"Gue udah cantik gini, masih suruh bawa ransel? You must be kidding," sahut Abel sambil mengangkat gawainya. "I have this, Mr. Ganesh. If you don't know how to use this to earn money, I'll surely show you how."

Yasa hanya mendengus kecil, lalu kembali menekuni laptopnya.

Yofian Ajisaka dan Ganesh Abiyasa, adalah kawan-kawan Abel sejak kuliah. Berbeda dengan Abel yang berasal dari fakultas Ekonomi, Saka dan Yasa adalah anak DKV. Saka, lelaki berkemeja hitam itu adalah penggagas Dhalung generasi pertama, sebuah wadah bagi anak-anak DKV yang bertarung di Maddadesign. Abel, adalah satu-satunya anak di luar DKV yang tersesat di tengah para seniman gila seperti Saka dan Yasa.

Namun Abel tidak pernah menyesalinya. Justru mungkin, detik ketika Saka menawarinya untuk bergabung dengan Dhalung adalah momen paling berharga di hidup Abel.

Lihat selengkapnya