Color Palette

Kartini Senja
Chapter #3

Rumah Paling Nyaman

Kedai itu tidak begitu besar. Hanya tersedia beberapa bangku, namun menu gado-gado yang disajikan cukup membuat Arvin dan Abel menobatkannya sebagai salah satu kedai favorit mereka.

Abel tiba lebih dulu daripada Arvin. Lelaki itu memberinya pesan bahwa dia akan terlambat beberapa menit. Abel memakluminya, dia tahu sekali Arvin tidak akan tenang jika masih ada pekerjaan yang menumpuk di meja kerja.

Abel mengeluarkan kaca lipatnya dan memperbaiki penampilan. Ia tidak begitu suka menghadapi kaca yang besar, sebab hal itu akan membuat seluruh wajahnya terlihat. Dan Abel, benci melihat wajahnya sendiri.

Gadis bergincu merah itu ganti memusatkan atensi pada ponselnya, lalu membaca brief yang belum selesai ia pelajari.

Pada awalnya, Maddadesign adalah situs crowdsourcing yang mengkhususkan diri pada bidang desain grafis. Namun beberapa tahun terakhir, Maddadesign membuka layanan desain web demi menjawab kebutuhan pasar yang makin berkembang. Situs ini mempertemukan orang-orang, organisasi atau perusahaan yang membutuhkan layanan desain grafis, dengan para desainer grafis. Abel, adalah salah satu desainer grafis yang menjadikan Maddadesign sebagai tempat mencari nafkah. Ia mengawali karir di Maddadesign sebagai desainer logo, dan mulai memenangkan banyak proyek.

Di bawah arahan Saka, kemampuan Abel berkembang pesat. Proyek yang diikuti Abel makin beragam dengan nilai yang semakin naik. Beberapa Contest Holder -sebutan bagi penyelenggara kontes- sering kembali untuk memakai jasanya melalui one to one project. One to one project adalah salah satu layanan Maddadesign yang lebih privat, hanya melibatkan satu desainer terpilih untuk mengerjakan proyek yang diajukan oleh klien. Karena one to one project masuk ke dalam premium custom service, nilai yang ditawarkan biasanya lebih besar. Hal ini sebanding dengan kualitas service yang diberikan oleh desainer.

Jika klien mengajukan paket design branding, nilai yang ditawarkan bisa menyentuh 1000 dolar dalam satu kali proyek. Sebab desainer tidak hanya membuat logo saja, namun memikirkan cara agar logo-logo tadi mampu berfungsi maksimal sebagai sarana promosi. Contohnya, mengintegrasikannya dalam bentuk namecard, letterhead, envelope, flyer, merchandise, banner, dan produk-produk desain grafis lain agar produk klien bisa dipromosikan secara maksimal.

Meski spesialisasi Abel berada di desain grafis, tidak jarang klien menawarkan bonus proyek berupa desain web. Abel belum memenuhi kapasitas menjadi desainer web. Namun otak oportunis Abel memberitahunya jika web design service adalah peluang yang berharga dan menjadi nilai tambah akan dirinya. Maka demi tambahan pundi-pundi rupiah, dia membangun kerjasama dengan Sharga.

Lelaki itu bekerja sebagai animator di Spanyol. Maddadesign adalah pekerjaan sampingannya. Mereka akan berbagi tugas. Abel akan mengurus grafis yang diperlukan, sedangkan Sharga memastikan situs itu bisa berjalan dengan baik. Begitu pula sebaliknya. Sharga sering meminta bantuan Abel untuk menangani hal-hal grafis seperti logo, ikon, lettering, warna dan sebagainya ketika Sharga mendapatkan proyek namun terlalu sibuk untuk memikirkan semuanya.

Abel menyipitkan mata kala membaca brief yang terpampang di layar ponselnya, lalu menyetujuinya. Tidak butuh waktu lama, notifikasi pembayaran awal sudah masuk ke wallet akun miliknya. Itu berarti mulai detik ini, Abel sudah terikat kontrak kerja.

Sebuah pesan instagram menyela layar ponselnya.

"Pesen desain, bisa?"

"Bisa. Silahkan isi formulir yang tertera di Bio. Terima kasih."

"Bisa nggak kita ketemu langsung? Kita satu daerah."

Abel mengangkat alis.

"Tentu."

"Good! Athlas cafe, dinner, tomorrow? I am interested with your portofolio, especially your touch in flat design. Wanna talk to you personally. I think you shall create something brilliant for my new cafe. thank you."

"Sure. See you tomorrow."

Abel mengangkat alis kala mengunjungi profil instagram klien barunya. Irham Mandala, seorang patissier--pastry chef-- pemilik Athlas Cafe yang ia kunjungi bersama Arvin tadi malam.

Abel menggelengkan kepala kala kembali mengingat kejadian tidak mengenakkan itu.

"Kalender...kalender..." Abel bergumam. "Ntar malem bikin konsep--"

"Ngerjain apa?"

Demi matahari dan planet-planetnya, jantung Abel jatuh berserakan kala suara Arvin terdengar tepat di belakang Abel.

"Kamu kenapa sampai kaget gitu?" tanya Arvin seraya mengambil gawai Abel yang terjatuh ke lantai.

"Nggak...papa," jawab Abel. Matanya mengawasi Arvin yang mengerutkan dahi sambil menatap layar ponselnya. Lalu, air mukanya berubah perlahan. Bibir lelaki itu menipis, kemudian meletakkan ponsel di meja tanpa kata.

" 'Nggak papa' ", ulang Arvin dingin saat duduk di hadapan Abel. "Udah pesan?"

Abel mengangguk dengan takut-takut. Arvin menatapnya datar sebelum mengeluarkan ponsel dan sibuk dengan benda itu. Rahang lelaki itu mengetat, wajahnya kaku dan bibirnya menipis. Abel memejamkan mata, merutuki diri sendiri. Selesai. Makan siang yang ia tunggu kini musnah sudah.

Bodoh! Abel bodoh!

"Kenapa berhenti?" Pertanyaan Arvin membuat Abel membuka mata. Arvin meliriknya sebelum kembali menatap layar gawai. "Terusin aja. Kamu sibuk, kan?"

Abel menggigit bibirnya.

Lihat selengkapnya