Come Back Home

Pingumerah
Chapter #1

1. Takut Kehilangan

Seorang laki-laki berpakaian rapi bergegas turun dari taksi. Sepatunya  menimbulkan derap ribut membelah kerumunan orang-orang. Ketika lewat, wangi matahari menguar dari tubuhnya. Dia tersengal-sengal begitu tiba di depan meja perawat IGD. Wajahnya merah padam, campuran perasaan kalut dan terbakar sinar matahari siang bolong. Sambil mengatur napas, sepasang bibirnya mengucap sebuah nama.

“Shavella Nayana,” katanya dengan suara bergetar. “Istri saya di mana?” lanjutnya seperti ingin menangis.

“Kak Hechan!”

Karena mendengar panggilan itu, dia menoleh. Haidar tergopoh-gopoh menghampirinya. Haiyan sendiri masih berusaha menenangkan debaran jantungnya yang menggila sejak menerima kabar buruk. Untung saja Haidar memanggilnya. Kalau tidak begitu, bisa-bisa Haiyan sungguhan menangis di depan perawat yang cuma melihatnya kebingungan dari tadi.

Haidar mengangguk kecil, mewakili kakaknya meminta maaf pada perawat. Dia merangkul bahu si perusuh dan menariknya ke sisi lain ruang IGD. Ada plang besar bertuliskan ‘Ruang Operasi’ di atas pintu dua daun. Seketika isakan Haiyan pecah.

“Kak, ganggu yang lain,” bisik Haidar mengingatkan. Dia menggamit lengan Haiyan supaya duduk di kursi penunggu. Pasalnya, di sana juga ada penunggu pasien selain mereka berdua.

“Ada tiga nyawa di dalam sana, Dar!”

Haidar menghela napas sambil menepuk bahu Haiyan. “Iya, Kak. Aku paham. Berdoa aja untuk hasil yang terbaik.”

Haiyan mengikuti kelakuan adiknya. Setelah menarik napas panjang beberapa kali, dia mulai merasa tenang. Jas yang menutupi tubuhnya terasa bagai belenggu. Jadi, dia melepasnya. Lengan kemejanya juga digulung hingga siku. Dia menarik dasi di lehernya supaya longgar dengan sedikit paksaan. 

Haiyan termenung. Keberadaan istrinya di dalam ruang operasi membuat perasaan Haiyan kian berat. Dia begitu panik saat mendapat pesan singkat dari Haidar yang mengatakan bahwa Naya terjatuh dari tangga rumah. Untungnya, Haidar sedang tidak ada jadwal pergi ke kampus. Haidar dengan sigap membawa kakak ipar ke rumah sakit terdekat.

Hal yang membuat Haiyan khawatir setengah mampus tidak berhenti sampai sana. Naya sedang hamil anak kembar. Usia kandungannya baru menginjak delapan bulan. Saat terjatuh, bukan hanya pecah ketuban yang terjadi, plasentanya ikut terlepas dari dinding rahim. Naya mengalami perdarahan. Haidar pun berkata bahwa selama perjalanan ke rumah sakit Naya selalu mengeluh perutnya sakit. Tak mengherankan apabila Naya langsung mendapatkan penanganan operasi darurat. Baik ibu dan calon anak, mereka harus diselamatkan.

“Keluarga ibu Shavella Nayana.” Perawat yang mengenakan setelan hijau mengeraskan suara.

Haiyan segera berdiri dan menghampirinya. “Saya suaminya, Sus.”

Perasaan Haiyan makin tak menentu melihat senyum perawat wanita di hadapannya. Itu jenis senyuman yang berfungsi untuk menyabarkan keluarga pasien. Haiyan mencium sebuah pertanda tak baik.

“Operasinya berjalan dengan lancar,” kata perawat. “Tapi, kondisi ibu Naya dan adik bayi tidak terlalu baik.”

Belum sempat Haiyan menarik napas lega, kaki-kakinya justru melemas. Haiyan berpegangan pada dinding. Dalam hati dia menguatkan diri untuk tetap tegak berdiri.

“Karena lahir prematur, pernapasan bayi masih belum berkembang. Selain itu, berat badannya juga kurang. Kedua bayi Bapak harus dirawat di NICU untuk saat ini.”

Haiyan menelan ludah susah payah. “Kalau istri saya?”

"Ibu Shavella kehilangan cukup banyak darah. Perdarahannya sudah berhasil dihentikan, selama operasi sudah masuk dua kantung darah. Namun untuk saat ini ibu Shavella masih belum sadar. Dokter memutuskan untuk memonitor kondisi ibu Shavella di ICU."

Kali ini Haiyan sukses melorot di lantai. Dia tidak peduli jadi bahan tontonan orang-orang. Saking lemasnya, Haiyan hampir pingsan.

Lihat selengkapnya