Come Back Home

Pingumerah
Chapter #2

2. Naya dan Twinnie

Nama lengkapnya Haiyan Chandra Lateef. Dia biasa dipanggil Haiyan. Teman-teman tongkrongan sering memelesetkan panggilannya menjadi Hechan, gabungan dari dua nama depannya. Namun, Haiyan punya panggilan lain yang lebih imut. Khusus istrinya yang boleh memanggilnya sebagai Echan.

“Halo, Echan!”

Haiyan tidak tersenyum. Dia langsung duduk dan menggenggam tangan kiri Naya hati-hati. Pria itu meringis saat melihat selang infus terpasang di kedua tangan sang istri. Terlebih, Naya terlihat sangat lemas. Suara Naya saja selirih angin, masih lebih jelas bunyi-bunyian monitor tanda vital di sekeliling kasur pasien.

“Masih sakit?” tanya Haiyan. Dia terlampau khawatir sehingga tidak bisa bersikap santai.

Naya menggeleng lemah. “Aya nggak bakal bisa sembuh kalau lihat Echan sedih.”

Haiyan menarik pandangan dari layar penunjuk irama jantung. Tatapannya bergulir pada mata sayu wanitanya. Haiyan memaksakan seulas senyum.

“Echan nggak sedih, tuh.”

Naya balas tersenyum. Jemarinya yang lentik bekerja keras memberi remasan ringan pada genggaman tangan mereka. “Twinnie bagaimana kabarnya?” tanya Naya merujuk pada si bayi kembar. Sejak dalam kandungan, Haiyan telah memberinya julukan imut begitu.

“Lagi di dalam oven.” Haiyan langsung menambahkan saat mendapati raut terkejut istrinya. “Maksudnya, mereka di dalam kotak pemanas itu, lho. Mereka bobo terus.”

“Inkubator, Echan,” ralat Naya. “Masa oven? Memang anak kita ayam panggang, apa?”

Karena merasa bersalah, Haiyan meringis. Dia angkat tangan kiri Naya dan membubuhkan ciuman ringan di atas buku-buku tangannya yang dingin. “Aya cepat sembuh, ya, biar besok bisa pindah ke ruang rawat biasa. Terus, kalau sudah benar-benar kuat, kita bisa lihat Twinnie bareng-bareng.”

Naya mengangguk dan menarik garis senyum. Untuk saat ini, dia tak bisa menjanjikan apa-apa.

Haiyan mengusap dahi Naya menggunakan ibu jari tangannya yang bebas. Laki-laki itu berdiri, kemudian merunduk. Haiyan mencium kening Naya begitu lembut, seolah-olah takut menyakiti istrinya meski dengan kecupan.

Ketika kembali duduk, Haiyan tak mampu menahan linangan air mata yang menyeruak ingin bebas. Dia berusaha keras supaya tangisnya tak bertumpah ruah. “Aya, makasih sudah bangun. Makasih sudah bertahan.”

“Aya kuat, Echan. Tenang aja. Aya pasti bisa sembuh.”

Haiyan melemparkan tatapan hangat. Jemarinya tak pernah berhenti mengelus tangan Naya. Haiyan merasa sangat lemah melihat istrinya begini. Tak heran Naya yang notabene berstatus pasien, justru menyemangati Haiyan yang terus-terusan lesu.

“Iya, Aya kuat,” sahut Haiyan. “Ayo, bobo lagi! Aya masih dalam masa pemulihan.”

“Oh, ya, Echan.”

Haiyan mengangkat kedua alisnya. Bukannya terpejam, mata Naya justru berbinar-binar jelita. Haiyan tak kuasa menyuruhnya menutup mulut. Sambil membenahi letak selimut Naya, Haiyan menanggapi, “Apa?”

 “Makasih, ya. Nasi goreng Echan enak.”

Senyuman lega muncul di wajah Haiyan. Permasalahan tadi pagi terselesaikan dengan baik. Haiyan sekali lagi mencium punggung tangan Naya. “Aya  bobo dulu. Echan tungguin.”

Lihat selengkapnya