Tasya menyenggol siku Fanya yang sedang fokus menyalin catatannya, satu jam yang lalu Fanya sama sekali tidak menyentuh bukunya sedikitpun. Semua itu gara-gara pikirannya terus-terusan berkecamuk, memikirkan Reyhan. Entah apa yang membuat dirinya sampai memikirkan Reyhan.
"Fanya, cepetan. Laper," rengek Tasya dengan memanyunkan bibirnya, sedangkan yang dipanggil tak menoleh sedikitpun.
"Fan, nanti aja lo pinjam catatan kita. Laper nih, ke kantin dulu ayo," ajak Aiva lagi seraya mengelus perutnya yang sedari tadi minta diisi.
"Pasti, nanti gue ambil. Udah males juga nyatetnya." Fanya menutup bukunya, kemudian memasukkan ke dalam laci mejanya lalu ia melipat kedua tangannya di atas meja sambil menatap Aiva yang berdiri menunggunua. "Kalian duluan aja, soalnya gue harus ke taman dulu."
"Ha'h. Ngapaian lo ke sana?" tanya Tasya dengan sedikit memekik hingga Fanya yang duduk di sampingnya menutup telingan mendengar suara cemprengnya.
Aiva menepik bahu Tasya. "Nggak usah teriak-teriak ih, Sya. Kebiasaan deh," protesnya pada gadis yang apa-apa di tanggapain heboh.
"Tau tuh, Tasya. Sok histeris gak jelas," celutuk Fanya.
"Iye, iye. Sorry, emang mau ngapain ke taman? Oh, jangan-jangan lo mau ketemu---an sama cowok ganteng itu yah, ngaku aja deh, lo!" tuduh Tasya, dan Fanya mengangguk membenarkan. Gadis itu memang sangat pintar dalam tebak-tebakkan.
"Aaa, tuh, kan, tinggal gue seorang yang jomblo. Nanti lo pasti diajak jadian."
"Please, Sya. Gak usah lebay gitu deh," cicit Aiva seraya menyenggol bahu Tasya, dan menarik salah satu sudut bibirnya karena malas mendengar ocehan tak jelas Tasya
Fanya bangkit dari duduknya. "Udah, kalian duluan aja. Nanti gue nyusul."
"Mau kita pesan apa?" tanya Tasya juga bangkit dari duduknya untuk keluar, supaya Fanya juga bisa keluar.
Fanya terdiam sejenak, tampak sedang berpikir.
"jus alpukat aja deh, makanan nghak usah," putus Fanya ketika tidak ada makanan terlintas di pikirannya.
Aiva mengacungkan jempolnya, ia melingkarkan lengannya pada lengan Tasya. Menarik sahabatnya itu untuk keluar kelas. Soalnya cacing dalam perutnya sudah pada demo kelamaan ngobrol sedari tadi.
***
Fanya berjalan secara pelan menghampiri Reyhan sedang duduk mengarah keselatan, sedangkan Fanya jalan dari arah berlawanan hingga laki-laki itu tidak tau jikalau Fanya berada di belakangnya. Ia sengaja berjalan pelan seperti itu untuk mengejutkan Reyhan, sesekali gantian dirinya yang mengejutkan. Kan, biasanya Reyhan sangat suka membuatnya terkejut. Lebih tepatnya sih, mengejutkan emosinya yang sedang terlelap.
"Hoi! Landak berduri!" teriak dari belakang, mendadak sontak laki-laki itu terperanjat karena teriakannya karena sedikit keras.
"Hahaha ...." gelak Fanya begitu senangnya karena berhasil membalas Reyhan yang biasanya mengejuti-nya. Ekspresi laki-laki itu malah datar entah dia marah atau bukan. Ah, tak penting. Yang penting Fanya bisa membuat Reyhan terkejut.
Gadis itu kemudian melompati tempat duduk panjang berlapis keramik merah itu untuk diduduki olehnya. Ia langsung menempati dirinya di samping Reyhan dengan jarak dekat. Laki-laki itu malah iminta Reyhan. Secepat mungkin ia merampas kembali miliknya.
"Punya gue," kata Fanya.
Reyhan bergeming dari duduknya, ia terpukau akan wajah sumringah Fanya. Setelah beberapa detik, ia berdeham agar tidak terlalu canggung. Seorang Reyhan bisa canggung? Ini mah, sudah ada tanda-tanda ada yang mulai tumbuh.
"Lo mau ngomong apa?" tanyanya to the point setelah mengecek novel yang dikembalikan, apakah ada lecet atau tidak.
Tidak ada suara dari orang yang ditujukan pertanyaan, Reyhan merogoh saku kemejanya terlebih dulu. Ia mengeluarkan tiga carik kertas yang sudah berisikan tulisan. Reyhan menyodorkan kertas itu untuk Fanya.
"Ini apa lagi?"
Fanya mengerutkan keningnya hingga alisnya juga ikut tertaut, ia bingung dengan maksud Reyhan. Dengan perasaan ragu, Fanya mengambil tiga carik kertas itu sambil menatap wajah laki-laki di sampingnya tanpa berkata apapun. Tak tau kenapa Reyhan jadi mendadak bisu seperti ini.