Come to Stay

Winda Nazira
Chapter #15

Kehilangan Dua sahabat sekaligus

Sepulang sekolah Reyhan kembali menjumpai Fanya di UKS. Gadis itu bahkan tidak mengikuti beberapa pelajaran terakhir setelah istirahat. Reyhan bahkan sampai meminta pinjam motor Arkan demi mengantarkan Fanya pulang. Ya, taulah ujung-ujungnya motor Reyhan yang tadi padi diperbaiki harus diambil Arkan di bengkel. Mau tidak mau ya, harus mau. Memang Arkan sendiri mau kok, kan, yang namanya sahabat sudah hakekatnya saling membantu. 

Reyhan muncul dari balik pintu UKS, ia melihat Fanya duduk di tepi Ranjang sambil menatap keluar jendela. Tatapannya kosong seolah menjelaskan begitu besarnya dosa telah diperbuat. Meski sebenarnya di sini tidak sepenuhnya jadi kesalahan Fanya. Karena itu adalah hak seseorang dalam jatuh cinta. 

Reyhan berjalan ke arah tempat tidur di mana Fanya sedang duduk.

"Nih, minum dulu." Reyhan menyerahkan air mineral dalam kemasan sedang pada Fanya.

"Makasih," ucap Fanya datar sambil menerima air dari Reyhan tanpa melihat laki-laki itu sedikit pun. matanya masih sembab karena tangisannya. 

Air yang diterimanya malah diletakkan begitu saja di atas ranjang tanpa diminum.

Setelah itu Arkan, Alfi, juga Tasya menyusul bersamaan melihat kondisi Fanya. Reyhan mundur ke arah sahabatnya sendiri, membiarkan Tasya bersama Fanya.

"Fanya, lo jangan sedih gini dong." Tasya merengkuh sahabatnya, ia ikut sedih melihat raut wajah kesedihan dari Fanya. Biasanya ia selalu melihat wajah itu penuh senyum atau kadang-kadang kejengkelan yang menggemaskan. Saat ini semuanya redup. 

Tiga cowok yang ada di ruang itu hanya diam melihat Fanya dan Tasya saling berpelukan. Bahkan Alfi, dan Arkan yang berdiri di ambang pintu ikut terharu melihat mereka. 

Kedua gadis itu saling melepaskan pelukan mereka. 

Fanya menggenggam kedua tangan Tasya, menatapnya dengan tatapan penuh yang sulit diartikan. "Sya, gue gak mau persahabatan kita hancur. Gue gak tau harus ngapain sekarang ... Aiva bener-bener marah sama gue," tuturnya bernada sendu, matanya berkaca-kaca menatap Tasya di hadapannya. 

Sumpah demi apapun, Aiva baru kali ini melihat wajah kesedihan Fanya. Ia rindu dengan wajah cemburut Fanya, ia rindu dengan wajah ceria Fanya sebelumnya. 

"Kita belum tau dia di mana, tapi kita udah cari sampai seluruh tempat nggak ketemu juga," sahut Arkan. 

"Bener, nyusahin aja," celutuk Alfi tanpa sadar karena mulutnya suka asal cerocos saja.

Pletak! 

Sebuah jitakan mendarat di kepala Alfi.

"Duh, sakit," keluh Alfi seraya menggosong-gosok bekas jitak-an Arkan. 

"Makanya kalo ngomong tuh, jangan suka asal. Liat kondisi dong," tegur Arkan setengah berbisik. "Kita balik duluan ya," katanya lagi karena merasa tidak enakan dengan Fanya. 

"Lo yang bayarin Taxi Online nya kan?" Alfi berbisik pada Arkan.

"Iya, semua aman," balas Arkan ikut berbisik juga. "Kita duluan ya," ujarnya pada yang lain sambil tersenyum ramah. 

Tangan Reyhan malah dengan cepat mendorong mereka untuk keluar. Ia berpikir entah dosa apa telah diperbuat sampai memiliki sahabat, tidak ada akhlak seperti mereka. 

"Maaf---"

Suara Reyhan terhenti, ketika dering ponsel Tasya membelah keheningan.

"Fan, Aiva nelpon gue," ucap Tasya girang ketika dan segera mengangkat panggilan itu.

"Halo."

"Tasya lo, lagi di mana sekarang?" tanya Aiva dengan suara serak dari seberang. 

Gadis itu melirik sahabatnya, yang juga sedang menatapnha. "Masih di sekolah. Lo ada di mana sekarang?"

Fanya dengan cepat menarik handphone Tasya, ia ingin sekali berbicara dengan Aiva untuk memberi penjelasan. 

"Va, ini gue. Lo lagi di mana sekarang? Gue mau ketemu lo, gue minta maaf sama lo Va," lirih Fanya sambil menitikkan air mata penyesalannya. 

"Ternyata lo lagi sama Tasya, oke. Kalau lo mau minta maaf sama gue. Nanti malam lo ke jembatan dekat taman kota, gue juga minta Andra ikut. Nanti lo jelasin semuanya di sana."

Fanya terdiam sejenak sebelum memberi keputusan. Ia menarik napas panjangnya sambil memejamkan matanya. 

"Oke, bila perlu kita ketemuan sekarang." 

"Sekarang gue nggak mau lihat wajah munafik lo," kata Aiva sambil memutuskan sambungan telepon.

"Aiva ...."

Panggilan itu sudah terputus. Fanya menyerahkan kembali ponsel Tasya.

"Gimana?" tanya Tasya sambil duduk di dekat Fanya, lama-lama berdiri pegal juga kakinya. 

"Dia minta gue ketemuan nanti malam di jembatan dekat taman kota." 

"Oh, yaudah nanti malam lo keluar aja, tapi gue nggak bisa ikut. Mobil dipake sama Kakak gue keluar Kota."

"Sama gue aja," sahut Reyhan dengan cepat setelah sedari tadi hanya diam mendengarkan pembicaraan mereka. 

Fanya menggelengkan kepalanya. "Nggak semudah itu, Mama pasti nggak ngizinin gue keluar malam. Kecuali sama Andra, Mama cuman percayain gue sama Andra." 

"Kalau gitu sekalian aja. Kan, rumah lo deket sama Andra," cerocos Tasya tanpa berpikir lebih dulu. 

"Sya, lo tau kan, posisi gue sekarang gimana? Nggak mungkin dong, bisa bareng sama Andra." 

Tasya menggaruk-garukkan kepalanya yang tidak gatal. "Sorry Fan, gue lupa," cengirnya seperti orang bodoh. 

"Kan, ada sopir. Nah, lo minta anter sama sopir lo aja," katanya lagi setelah ide itu muncul dari kepalanya-- tetap saja Fanya menggeleng-gelengkan kepalanya. 

"Mama gue pasti minta ikut." 

"Hah?" Tasya membulatkan matanya mendengarkan Fanya. "Mama lo minta ikut?" Ia menepuk jidatnya. Sudah tidak ada lagi solusi yang bisa diberikannya lagi. 

Lihat selengkapnya