Masalah tadi malam masih terngiang-ngiang dalam pikiran Fanya, dengan langkah pelan ia berjalan memasuki sekolahnya yang tampak begitu sepi. Pagi ini, ia begitu cepat datang ke sekolah. Fanya berjalan sendirian sambil menundukkan pandangannya, menatap setiap langkah demi langkah kakinya berpijak.
Hai, selamat pagi, cantik," sapa Ega pada Fanya tengah berjalan seorang diri memasuki sekolah.
"Pagi Kak," balasnya lalu ia mempercepat langkahnya tidak ingin berlama-lamaan dengan laki-laki itu.
Kenapa di pagi begini ia harus bertemu Ega? Apa tidak ada manusia lain yang harus ditemuinya?
"Hei! Tunggu dong." Ega mensejajarkan diri dengan Fanya.
"Maaf Kak, aku buru-buru."
Langkah Fanya semakin cepat, tapi ia juga kalah cepat dengan Ega. Laki-laki itu terus terusan mengikutinya.
"Buru-buru? mau ke mana sih, lagian ini kan, masih pagi sekali. Ada kesibukan apa emangnya?"
Ya, Fanya selalu datang ke sekolah lebih cepat. Ia sangat malas jika harus datang ketika sekolah sudah ramai kemudian para cowok-cowok akan memanggil-manggilnya tidak jelas.
Jantung Fanya mulai tidak karuan, ia merasa takut karena Ega terus mengikutinya. Apalagi sekolah masih sangat sepi, hanya ada satu dua murid yang berkeliaran. Semakin Fanya mempercepat langkahnya, laki-laki itu juga melakukan hal yang sama.
"Kak Ega, ngapain ngikutin aku Kak?" Fanya mulai was-was dengan laki-laki itu.
"Nggak kok, gue cuman mau keliling-keling aja. Kebetulan kan, kita datengnya sama-sama cepat. Gimana kalau kita jalan-jalan pagi keliling sekolah?" tawarkan Ega.
Fanya langsung menggelengkan kepalanya.
"Nggak Kak, aku mau langsung masuk."
Kebetulan kelasnya sudah dekat, Fanya berjalan lebih cepat lagi, bahkan setengah berlari menuju kelasnya. Ia berharap Ega tidak akan mengganggunya lagi. Ya, meski itu belum termasuk dalam kategori mengganggu karena hanya ingin diajak bicara, tetap saja Fanya yang merasa terganggu; tidak nyaman di ajak bicara Ega.
Sampai di ruangan kelasnya, Fanya tidak menjumpai satu orang pun di sana. Kelas benar-benar sepi. Ia jadi sedikit menyesal karena datang terlalu cepat, harusnya ia tidak langsung ke kelas dulu. Tapi karena tidak tau harus ke mana gara-gara Ega terus-terusan mengikutinya, jadinya ia melesat ke kelas yang kini malah kosong.
"Nah kan, udah gue bilang kita itu terlalu cepat ke sekolah... makanya kita cari angin seger dulu di sekeliling sini."
Fanya dibuat terkejut dengan kehadiran Ega, ternyata laki-laki itu tidak meluruskan jalannya. Ia berbelok ke kelas Fanya.
"Kakak ngapain ke sini?" Fanya belum duduk, ia melepaskan ranselnya-- meletakkan di atas meja.
"Emangnya nggak boleh gue kemari?" Ega tersenyum licik, ia semakin mendekati Fanya.
Demi apapun, sekarang Fanya tidak bisa berkutik. Kakinya terasa kaku saat ia berusaha untuk mundur, sebelah tangannya berpegangan pada setiap ujung-ujung meja yang ia lewati. Seluruh ujung jari Fanya terasa dingin dan gemetaran, wajahnya juga ikut pucat karena rasa takutnya.
"Lo kenapa?" Ega berhenti dengan jarak sangat dekat.
Fanya berusaha untuk mundur meski kakinya terasa kaku, bukan lagi kakinya saja. Seluruh tubuhnya rasanya sudah menegang. Dan secepat mungkin Ega mencengkam bahu Fanya hingga gadis itu meringis. Ega mendorongnya hingga tubuh gadis itu terbentur dengan dinding.
"Lepasin Kak." Fanya berusaha tenang meski seluruh perasaan dan hatinya tidaklah tenang.
Ega benar-benar jahat, ia kini mengunci tubuh Fanya dengan tubuhnya. Gadis itu terus berusaha mendorong Ega, tapi ia kalah kuat dengan Ega yang mengimpitnya. Jemari tangan laki-laki itupun mengcengkam kuat dagu Fanya.
"Lepasin gue!" Fanya bersuara dengan susah payah akibat cengakaman terlalu dalam.
Emosi Ega semakin memuncak, sebelah tangan ia gunakan untuk mencengkam dagu Fanya, sebelahnya lagi digunakan untuk memelintirkan kedua tangan Fanya kebelakang. Gadis itu berulang kali mencoba meronta dari Ega. Tatapan Ega semakin tajam, ia melihat wajah Fanya penuh rasa sakit. Ia sakit karena selalu dijauhi Fanya.
Detik berikutnya, Ega mendekatkan kepala dan menyatukan bibirnya dengan bibir Fanya dengan rakus. Ega tidak peduli jika saat ini gadis itu sudah menangis--memberontak, ia malah semakin memperdalam dan menggigit kuat bibir Fanya hingga mengeluarkan darah segar baru ia melepaskan Fanya.
"Fanya bibir lo berdarah." Ega kini mulai panik dan melepaskan Fanya.
"Sialan! Keluar lo bangsat!" umpat Fanya tak ingin melihat wajah Ega. Ia menjauhkan dirinya.
Rasa bersalah semakin menjalar dalam dirinya, Ega tidak mau keluar. Berulang kali ia mengucapkan kata maaf-- berusaha mendekati Fanya.
"Gue bilang keluar," teriak Fanya memenuhi seluruh ruangan. Ia benci melihat Ega, ciuman pertamanya telah direnggut oleh laki-laki itu.
"Keluar breng*ek! Gue nggak mau lihat muka najis lo!" pekik Fanya sekali lagi.
"Fanya, tolong dengerin gue... gu---gue benar-benar khilaf Fanya. Gue mohon, maafin gue. Lo boleh benci gue. Gue pantas dibenci."
"Keluar lo!" teriak Fanya terus berjalan mundur karena masih takut akan laki-laki itu yang mencoba mendekatinya.
"Oke, oke. Gue akan keluar." Ega menyerah.
"Fanya," pekik Tasya yang baru datang. "Fanya lo kenapa?" Ia berlarian ke arah Fanya.
Dahinya berkerut dalam menatap Ega yang buru-buru keluar, sedang apa laki-laki itu di sini? Dan apa yang terjadi sampai-sampai Fanya menangis?