Aku bisa membuatmu
jatuh cinta kepadaku
Meski kau tak cinta kepadaku
Beri sedikit waktu
Biar cinta datang karena telah terbiasa
Berulang kali Fanya terus mengulang lirik lagu risalah hati, lagu yang saat ini dinyanyikan menggambar suasana hatinya.
Fanya terus bernyanyi sambil menyisir rambut panjangnya menata supaya jadi semenarik mungkin. Siap itu Fanya beralih memasang arloji bermerek gugci di tangannya.
"Perfect," puji Fanya kepada diri sendiri saat masih berada di depan cermin rias berukuran besar miliknya.
Klek!
Pintu kamarnya terbuka lebar, Mamanya berdiri di sana sambil tersenyum.
"Mama," Sapa Fanya saat menoleh ke arah pintu terbuka.
"Anak Mama, cantik banget. Sudah siap untuk sekolah?"
Fanya mengangkat tangannya memberi hormat.
"Siap."
Dera, Mama Fanya mendekati putri cantiknya.
"Tumben rambutnya diikat?"
Kepala Fanya menggeleng dengan pelan.
"Nanti pasti kepanasan, Mama tau sendiri kan, MOS itu di lapangan. Bikin gerah kalau nggak diiket."
"Hm, Oh ya Mama kemari itu mau panggil kamu. Udah ayo turun, sarapan dulu."
"Come on Mom." Fanya menggandeng tangan Mamanya.
"Tasnya sayang, nanti harus bolak-balik naik ke kamar lagi," ingat Dera kepada putrinya yang kini cengengesan tidak jelas.
"Lupah," jawab Fanya enteng.
Melihat tingkah laku anaknya tak pernah berubah dari dulu, padahal Fanya sudah SMA, Dera menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sepanjang perjalanan dari keluar kamar, menuruni tangga menuju ruang makan, Fanya terus mendengarkan nasehat Mamanya.
"Jam praktek Mama hari ini siang lagi?" tanya Fanya sembari menarik kursi untuk duduk.
"Iya, ada apa memangnya?" tanya Dera sambil mengoles selai stroberi pada roti untuk di serahkan kepada Fanya.
Fanya melipat lengannya di atas meja.
"Anterin ya Ma." Ia sengaja memasang tampang lucu dengan berkedip-kedip mata kepada sang Mama.
"Boleh, pulangnya nanti kamu minta di jempat Pak Ari ya."
"Aman, nanti aku pulang bareng Andra Ma, kita mau jalan-jalan," ujar Fanya bersemangat mengingat janji Andra yang mengajaknya motoran hari ini.
"Kemarin gak jadi?"
Fanya memajukan bibir bawahnya. Raut kekecewaannya terbaca dengan jelas.
"Ambil rotinya dulu." Dara menyerahkan sepotong roti yang sudah siap diolesi selai.
"Makasih Ma."
"Iya makan cepat, nanti keburu telat lagi." Dara ikut menyuapi roti ke dalam mulutnya sendiri.
Fanya masih mengunyah dengan satai, toh ini masih awal. Jadi nikmati saja waktu saat ini.
***
Limabelas menit perjalan, akhirnya Fanya tiba di sekolah barunya tepat waktu. SMA Harapan Bangsa, menjadi sekolah pilihan Fanya. Sekolah elit di Ibu Kota Jakarta.
"Ma, aku masuk dulu ya." Fanya menyalami tangan Mamanya.
"Iya, yang semangat anak Mama. Pokoknya Anak Mama hurus rajin belajar, harus pinter."
"Hm, calon dokter harus segala-galanya," ucap Fanya sambil mengembangkan bibirnya, bukan tersenyum.
"Pinter, udah sana turun."
Ketika hendak turun, Fanya melihat pemandangan yang tak biasa. Andra, laki-laki itu membuka pintu mobil untuk Aiva.
"Hei, kok melamun?" Dera mengibaskan tangannya di hadapan wajah putrinya, ia sendiri bingun dengan Fanya yang bengong tiba-tiba.
"Eh, iya Ma gapapa." Fanya menutupi apa yang terjadi, mana mungkin ia cerita kepada Mamanya.
"Terus ngapain melamun, gak jadi masuk?"