COMFORT IN SILENCE

Rina Setianingrum
Chapter #1

#1 Kembali ke Titik Nol

Dari balik kaca toko yang tembus ke jalan, Sarah duduk dengan jenuh di belakang meja kasir. Menatap deretan mobil yang tak bergerak dan motor-motor yang nyaris menyenggol pedagang kaki lima. Meski sore hari aktivitas begitu ramai, tetapi sejak pagi butik tempat Sarah bekerja sepi pengunjung. Jika terus–terusan seperti ini, kemungkinan besar sebentar lagi bakal bangkrut. Itu artinya dia harus mencari pekerjaan baru.

Hmph, Sarah menutup lembaran majalah wanita yang menampilkan artikel tentang Nuri. Dia tidak menyangka kalau teman sekolahnya itu akhirnya menikah dengan Doni, dan kini menjadi calon legislatif.

Sementara dirinya ... entah sampai kapan nasibnya akan berubah. Baru sebentar merasakan nikmatnya hidup, tiba–tiba semua hilang. Kembali seperti saat dia meninggalkan Panti Asuhan Rabiah Al Adawiyah. Tempat yang tak sekali pun dia rindukan, meski tiga tahun merantau di negeri orang.

Sekalipun Bu Lilik_pemilik panti_sangat menyanyanginya. Namun, kepedihan menjadi remaja yang dilecehkan karena tak memiliki apa–apa dan tak dimiliki siapa–siapa, selalu membuat Sarah ingin segera menghapus masa lalunya. Mengejar harapan baru, menjadi orang yang dianggap dan terpandang.

Tentu saja Bu Lilik kaget mendengar keputusan Sarah. Bayi yang ditemukannya tergeletak dalam kardus 20 tahun lalu, tiba–tiba menyatakan keinginannya untuk pergi. Padahal dia bermaksud mewariskan tempat ini, kelak jika Sarah dan Dyono menikah. Wanita tua itu berharap, bersama guru ngaji itu, keduanya akan menjadi pasangan yang serasi. Mengabdikan diri di jalan Illahi.

Entah mengapa, sepertinya Sarah tidak pernah tertarik dengan pemuda ini. Padahal di mata Bu Lilik, Dyono pemuda yang santun, soleh, cerdas dan disenangi anak–anak. Tekad Sarah sudah bulat. Dia ingin pergi mengubah nasib.  

Ibu ndak iso ngomong Nduk. Saiki kuwi wis ngerti opo sing apik buat masa depanmu. Mugo-mugo kepengenanmu kesampean. Ibu ra iso ngasih lebih.” Menyadari kemampuannya yang terbatas untuk mewujudkan impian Sarah, perempuan tua itu hanya bisa mengusap mata dengan ujung lengan dasternya.

Sekalipun banyak anak panti yang lain, tetapi perasaan Bu Lilik pada Sarah berbeda. Wajah bulat merah yang ditemukannya di depan pintu itu, tak sedikit pun menangis saat dia menggendongnya. Tak sedikit pun rewel ketika dia memberinya susu kaleng, dan tak sekalipun sakit saat yang lain demam. Benar–benar bayi yang kuat dan pemberani.

Setiap kali Bu Lilik menyanyikan tembang–tembang Jawa, matanya tak berkedip menyimak. Kadang ikut bersuara. Membuat Bu Lilik menghentikan alunannya dan tertawa. Gemas menggelitik perutnya yang buncit terbalut gurita. Lalu mengapa ... mengapa sekarang bayi itu ingin pergi?.

Dari kamarnya, Bu Lilik mendengar suara Luna menegur Sarah.

“Kakak mau pergi, ya? Aku boleh ikut?”

Bocah berusia 13 tahun itu memang sangat mengidolakan Sarah. Apapun gaya Sarah selalu ditirunya.

“Nanti kalau kamu udah gede, ya.” jawab Sarah.

----

Pagi belum bersimbah cahaya, tetapi Stasiun Balapan Solo sudah dipenuhi orang. Mereka yang hendak berangkat atau sekedar mengantar sama sibuknya. Dyono juga ikut menemani Bu Lilik. Sebentar–sebentar wanita tua itu menyeka airmata, hingga sebagian kerudungnya basah. Firasatnya mengatakan, ini akan menjadi yang terakhir kali. Dia tidak akan pernah melihat bayi itu lagi.

Perlahan kereta mulai berjalan. Dari celah jendela, Sarah melambaikan tangan. Senyumnya makin merekah. Lutut Bu Lilik lemas. Dyono segera memapahnya duduk. Merangkul dan mengusap–ngusap lengannya.

Melihat ketidakberdayaan wanita itu menahannya, seonggok duri sempat menyumbat tenggorokan Sarah. Dia langsung terduduk. Mengejap-ngejapkan mata dari genangan air hangat.

“Keinginan adalah sumber kelalaian bersyukur.” Malam sebelum Sarah berangkat, Dyono masih berupaya menasehatinya. Berharap pikiran gadis itu akan berubah.

Sarah mengacungkan buku “Meraih Sukses Dan Bahagia” yang tengah dibacanya, “Semua orang berhak bahagia dan harus mengejarnya.” tegas Sarah.

“Seandainya manusia tidak mengejar bahagia, mereka pasti akan sudah bahagia.”

Sarah mendengus pendek, “Tuhan tidak akan merubah suatu kaum, selama mereka tidak berusaha.”

“Yang DIA maksud berubah itu, hatimu. Penerimaanmu. Kalau kamu ridho, baru Allah ridho. Segalanya akan berubah sesuai kehendakNYA.”

“Jadi maksudmu, aku harus menerima saja nasib seperti ini?”

“Apa kamu tidak yakin bahwa DIA pemberi takdir terbaik?”

“Tapi ini bukan takdir terbaik! Apa aku salah memperjuangkan nasib?”

Lihat selengkapnya