COMFORT IN SILENCE

Rina Setianingrum
Chapter #2

#2 Impian yang Terhempas

“Di sini aja, Pak!” Di depan pasar malam, Sarah menghentikan tukang ojek yang mengantarnya. Dia sengaja tak langsung pulang karena ingin melepas beban pikiran sambil menikmati Es Oyen Mbak Sur. Jika sedang ada pasar malam, biasanya warung Mbak Sur tutup dan buka tenda disini. Serutan es dingin dengan siraman sirup dan susu kental manis, pasti akan mengendurkan kepalanya yang tegang.

Mbak Sur sendiri sudah seperti saudara bagi Sarah. Kadang kalau anak buahnya tidak masuk, Mbak Sur juga sering menitipkan Tora, bayinya yang baru berusia lima bulan. Lantaran suaminya tidak sanggup mengurus.

Apalagi ditambah dua anak lainnya yang masih SD. Jangankan untuk mengurus rumah dan anak, untuk mengurus dagangannya sendiri pun, masih selalu minta tolong istri.

Setiap hari Mbak Sur harus bolak balik dari warungnya ke warung suaminya hanya untuk membantu jualan, hingga dagangannya sendiri keteter. Padahal suaminya juga punya anak buah. Kadang sebentar–sebentar Mbak Sur disuruh mengambil barang yang ketinggalan, yang seharusnya bisa diambil sendiri.

Belum lagi menjemput anak sekolah dan memasak. Pulang ke rumah pukul sebelas malam pun, tidak bisa langsung istirahat. Setumpuk cucian menunggu dan setelah itu masih harus menyusui bayi yang susah tidur hingga dini hari.

Sementara suaminya? Pulang pukul lima sore dan malamnya masih minta pijit!. Apakah ini sesuai ajaran Islam? Apakah ini yang disebut mengabdi pada suami? Lalu apa kontribusi suami? Apakah cukup hanya dengan memberi makan dan meniduri?.

Suami Mbak Sur sering bangun siang dan akhirnya tidak jualan karena alasan tidak enak badan. Lalu bertandang ke rumah teman atau sekedar belanja barang yang dia suka.

Namun giliran Mbak Sur, mau beli satu kerudung saja, dibilang pemborosan. Sekalipun itu hasil keringatnya sendiri. Untuk main ke rumah Sarah pun harus ngumpet–ngumpet, karena sebentar saja sudah di telpon.

Belum lagi saat keluarga suaminya datang dari kampung. Bukan sekedar untuk liburan, tetapi untuk minta modal dan menumpang di kontrakan. Semuanya itu tidak hanya menambah pengeluaran tetapi juga pekerjaan Mbak Sur. Dia harus menyiapkan makanan lebih, mencuci pakaian mereka, dan sebagainya.

Sementara giliran orang tua Mbak Sur yang datang, boro–boro mendapat pelayanan dari suaminya. Untuk menjemput ke stasiun pun harus Mbak Sur juga yang jalan.

Tidak cukup sampai disitu. Mbak Sur juga terpaksa harus memenuhi ambisi suaminya yang ingin cepat kaya. Belum selesai cicilan satu mobil, sudah berharap menyicil mobil lain. Belum selesai membayar DP rumah, sudah berhasrat mengambil rumah di area lain. Satu lapak belum berjalan mulus, sudah membuka lapak lain. Baru selesai membayar cicilan dua motor gerobak, sudah berhutang untuk bisnis MLM, yang padahal semua itu adalah hasil keringat Mbak Sur!.

Semua orang kagum dan memuji–muji ketabahan Mbak Sur, kecuali Sarah. Sekalipun nasib mereka tak jauh berbeda, tetapi hal itu justru membuat Sarah mempertanyakan dirinya; Benarkah perempuan yang rela teraniaya itu, lantaran terlalu baik, terlalu bodoh, atau takut kehilangan status? Atau jangan-jangan mereka justru menikmatinya karena pujian?           Bukan tidak mungkin para wanita yang mati ditangan suaminya itu, adalah adzab, karena kesombongan merasa takwa. Mungkinkah dia termasuk salah satunya? Padahal kepergiannya dari panti adalah untuk mengubah nasib dan identitas, tetapi mengapa yang kini terjadi justru sebaliknya ....

“Hahahha!“ tawa keras dari salah seorang laki-laki yang tengah berkerumun di depan, mengejutkan Sarah. Diikuti suara perempuan menjerit-jerit. Seorang bocah laki-laki berusia 7 tahunan berlari sambil menangis meraung-raung, menerjang orang-orang yang berkumpul.

Sarah penasaran dan mendekat. Innalilahi! Bola mata Sarah nyaris mencuat. Seorang ibu yang sedang hamil tua tampak terlentang, menjerit - jerit dalam keadaan telanjang bulat. Orang-orang disekelilingnya sama sekali tidak menunjukan rasa prihatin bahkan mengolok. Sementara bocah laki-laki menangisi tubuh ibunya yang sedang jadi tontonan. Wajahnya merah, air mata dan ingus jatuh ke mulutnya yang meraung keras.

Serta merta, Sarah membuka jacket dan menyelimuti tubuh ibu itu. Namun diluar dugaan, perempuan itu malah mengamuk.

“Munafik, lo! Sok nutup nutup aurat, ngambil laki orang! Dasar pelakor!“

“Aaach!“ Sarah memekik. Berusaha melepas tangan ibu yang menarik kerudungnya.

Untung aparat datang menolong dan membawa ibu itu pergi dari kerumunan. Orang-orang pun bubar.

Meski sedikit lega, jantung Sarah masih berdegup kencang. Dia menghela napas panjang sebelum mengganti sepatu high heels-nya dengan sendal teplek.

Sepatu Jimmy Choo pemberian Mr. Lim itu masih awet, karena memang kualitasnya bagus dan mahal. Sarah jarang memakainya agar tidak cepat rusak, sebab tinggal ini barang ber-merek yang dia punya.

Sarah tidak menemukan tissue untuk mengelap sepatu itu sebelum dimasukannya ke dalam tas. Terpaksa dia menggunakan ujung baju. Membersihkan lumpur yang sedikit menempel di tumit. Dia juga mengelap aksesorisnya agar tetap mengkilap. Setelah yakin benar-benar bersih, barulah Sarah menyimpannya.

Pasar malam ternyata tak menghibur hati. Barang-barang yang dijual tak ada yang menarik. Sekalipun mall-mall di Singapore juga sepi karena mengalami penurunan daya beli, tetapi di Claymore Connect, Mandarin Gallery, Shaw Centre, Pacific Plaza, hingga Suntec City, Sarah tak pernah bosan menghabiskan waktunya.

Mr. Lim mengatakan, sepinya pengunjung itu disebabkan lebih banyak orang yang menggunakan transaksi online. Di Singapura jumlahnya mencapai 28 triliun rupiah. Jika hal itu terus meningkat, pastinya pusat-pusat perbelanjaan besar itu pun akan bangkrut. Entah berapa banyak pengangguran membludak, dan setelah itu, pastinya kriminalitas meraja lela. Tak jauh beda dengan disini.

Mr. Lim pernah bilang, jika wanita sedang gundah dan tidak bisa dihibur dengan cara apapun, ajak dia retail teraphy alias belanja. Pasti semua galaunya hilang.

Sarah tersenyum sendiri sembari melangkahkan kakinya memasuki warung Mbak Sur. Mr. Lim memang tahu cara memperlakukan perempuan. Sikapnya sangat manis. Lebih manis dari es oyen yang disodorkan kehadapannya.

Mbak Sur yang sibuk melayani sambil mengurus kedua anaknya yang rewel, hanya sempat menegur Sarah sebentar. Sementara suaminya, entah dimana. Mungkin sudah tidur di rumah, menunggu setoran.

Seorang pengunjung yang baru datang menegur anak Mbak Sur, “Eh, Mara ... kemarin ngajinya juara, ya? Duh, pinter bener.”

Mara yang masih ngambek karena jilbab baru yang dibelikan ibunya sedikit longgar, tidak mengacuhkan pujian ibu itu. Tangan kecilnya menarik gamis Mbak Sur dengan jengkel, “Bundaa!!”

Mbak Sur yang sibuk dengan dagangannya, hanya sedikit menepis tangan Mara.

Wajah Mara memerah dan berteriak keras, “Bundaa!!” Tangisnya melengking sekeras-kerasnya, seperti anak yang baru dipukuli habis-habisan. Fadli _anak Mbak Sur yang kedua_datang sambil melempar mainannya yang rusak ke arah Mbak Sur.

Kedua anak itu memang sering melampiaskan kemarahan mereka pada ibunya. Hal sepele bisa membuat keduanya menjerit–jerit seharian. Marah dan melawan tanpa sebab. Terus menerus meminta uang jajan. Padahal mereka rajin ibadah dan juara mengaji. Tetapi semua itu tidak membuat akhlak mereka baik. Mungkin karena terlalu sering melihat perlakuan ayahnya yang semena-mena. Anak-anak itu jadi tidak hormat pada Mbak Sur.

Hati Sarah sedikit panas dan napasnya terhela dalam. Untunglah, sensasi es yang menyentuh ujung lidah, berhasil mendinginkannya. Sekaligus mengendurkan betisnya yang terasa kaku, setelah seharian berdiri di toko dan berputar-putar di pasar malam. 

“Oooh, ternyata lagi enak-enakan di sini!”

Sarah sedikit tersedak melihat kemunculan Roy.

“Lagi banyak duit, ya?”

Lihat selengkapnya