Seperti biasa, warung nasi milik ibu Irfan ramai ditongkrongi para tukang ojek. Selama tiga bulan Roy tidak pulang, beberapa diantara mereka berusaha mendekati Sarah. Ada yang dengan cara halus, ada yang terang-terangan mengajak tidur, bahkan ada juga yang sok soleh menasehatinya lantaran ia kini lepas jilbab.
Ya, sejak meninggalkan panti, Sarah memang telah menanggalkan atribut itu. Dia mengenakannya lagi karena Roy yang meminta, atau lebih tepatnya memaksa. Para lelaki itu bisa seenaknya menuntut perempuan harus baik sementara mereka sendiri tidak bisa dituntut sedikit pun.
Setelah Roy pergi, Sarah merasa bebas menjadi diri sendiri. Dia kini bisa melamar ke salon besar, sesuai ijazah dan keahliannya. Tetapi untuk pergi kesana kemari, dia perlu ongkos. Padahal, bayar kontrakan pun belum. Untung ibu Irfan_pemiliknya_sangat pengertian, karena itulah ia bermaksud meminjam uang pada Mbak Sur.
Dengan setengah menyeret sandal jepit yang mengalas kakinya, Sarah melewati para tukang ojek yang sedang makan siang sambil asyik menonton sinetron. Wajah mereka tampak puas menyaksikan tokoh-tokoh perempuan baik yang selalu digambarkan bodoh, lemah dan menghamba.
Di Singapur, dirinya juga sering menonton tayangan drama Asia. Saat itu Sarah sempat berpikir; Mengapa orang asing yang tidak terlalu peduli agama, justru lebih Islami memperlakukan perempuan ketimbang di negeri ini?.
Film-filmnya tidak ada yang mengolok-olok status janda dan dalam kesehariannya pun, mereka biasa membantu pekerjaan rumah, menyiapkan makanan untuk keluarga, termasuk untuk tamu teman–teman istrinya saat berkunjung?. Mereka tidak terlalu minta dilayani untuk hal–hal yang bisa mereka lakukan sendiri. Bukankah semua itu sesuai teladan Nabi?
Tetapi mengapa di negeri yang mayoritas muslim ini, para lelaki justru menganggap hal itu bodoh? Yang mereka anggap pahala hanya poligami dan segala aturan yang menguntungkan laki-laki Apakah mungkin, Tuhan yang Maha Adil itu, membuat aturan yang hanya menguntungkan sepihak?.
Dandanan kurang rapi jadi alasan selingkuh. Mempercantik diri dibilang hedon. Bisa cari duit sendiri dibilang sombong. Tidak bisa cari duit, dibilang pengeretan. Istri tidak bisa mengatur keuangan dibilang boros. Bisa mengatur dibilang dominan.
Ketika ada istri dianiaya suami di depan umum, semua diam. Alasannya tidak mau ikut campur urusan keluarga. Sekalipun perempuan itu nyaris mati. Namun untuk persoalan lain yang tidak seharusnya menjadi urusan mereka, semua orang merasa berhak ikut campur.
Sementara di negara maju, satu jeritan perempuan pun sudah langsung membuat tetangganya menghubungi yang berwajib. Tetapi di negeri ini, yang berwajib pun kadang menyuruh para istri itu pulang, untuk menyelesaikan masalahnya sendiri secara kekeluargaan.
Padahal begitu sampai dirumah, para suami itu bukannya menyesal dan minta maaf, malah membuat istrinya babak belur. Tidak terima dilaporkan dan menganggap istri telah lancang.
Apa boleh buat. Saat ini suara laki–laki yang segelintir itu memang lebih keras dibanding jeritan hati jutaan wanita yang menderita. Mungkin nanti mereka baru menyadari, saat anak–anak perempuan mereka yang mengalami, atau ketika negeri ini telah benar–benar hancur oleh generasi bobrok akibat para istri yang frustrasi.
Mungkin ketika suami soleh dan suami preman tak lagi ada bedanya, hingga menyebabkan kriminalitas anak meningkatbahkan atau bahkan lebih sadis dari orang dewasa, saat itulah baru mereka memikirkan, bagaimana sesungguhnya Islam mengajarkan para suami mengasihi istri?.
Ya, setelah semuanya terlambat.
----
Tiba di muka warung Mbak Sur, alis Sarah berkerut; Tumben tutup? Padahal tidak ada pasar malam?. Pintu kontrakannya pun, tertutup rapat dan sepi. Teras kosong, dan tak terdengar suara TV.
Begitu juga keesokan harinya. Etalase warung tampak masih terbungkus terpal. Hp Mbak Sur juga tidak aktif.
Untuk ke sekian kalinya, Sarah berbalik, meninggalkan halaman Mbak Sur. Tiba-tiba HP-nya berdering.
Leher Sarah sedikit memanjang ketika membaca pesan yang tertulis; Ternyata selama ini ibu sudah ikut campur urusan rumah tangga saya. Saya tahu ibu yang menyembunyikan istri saya!.
Darah Sarah menggelegak. Apa maksud suami Mbak Sur? Dia bahkan tidak tahu dimana Mbak Sur?.
Sarah bermaksud menelpon balik, tetapi sebuah nomor lain yang tak dikenal, lebih dulu masuk. Terpaksa Sarah menerimanya.
“Mbak Sarah ....”
Suara parau dan terbata–bata diujung sana membuat Sarah tercekat, “ Mbak Sur?” Sarah menajamkan pendengarannya.
“Mbak, tolongin saya, Mbak.“
“Loh, Mbak Sur, kenapa? Ada apa?“
“Saya udah nggak kuat Mbak ... saya udah nggak kuat.” tangis Mbak Sur pecah.
“ Iya, iya, Mbak Sur tenang dulu. Saya bisa tolongin apa?“
Mbak Sur berusaha meredam tangisnya, “Saya ... saya mau titip Tora.“ .
“Titip Tora?” Sarah makin bingung, “memangnya Mbak mau kemana?“
“Tolong Mbak, saya bener–bener udah nggak kuat.“ tangisan Mbak Sur terdengar lebih keras.
Seperti terkena sengatan listrik, Sarah spontan memanggil ojek. Sekalipun dirinya tidak secerdas Nuri, yang bisa membantu banyak perempuan lewat partai politik, setidaknya dia bisa bermanfaat menolong satu perempuan. Ya, satu perempuan terdekat yang selama ini juga sudah banyak menolong dirinya.
“Mbak Sur ... Mbak Sur, ada dimana? Saya kesitu sekarang!.”