Compendium of The Rising Sun

F. Ladiya
Chapter #1

Prolog

Seperti kristal, bulan penuh pertama di musim ini bersinar keperakan, dibingkai oleh bayang kanopi dedaunan yang telah menguning secara dramatis, sebagai salam pertemuan dari sang gugur. Angin lembap bertiup menciptakan ombakan kecil di air, seakan berusaha meluruhkan sisa keceriaan sang matahari musim panas. Binatang-binatang pengerat terjaga, mengendus aroma musim yang baru dan memperhitungkan seberapa masanya, seberapa banyak persediaan makanan yang harus dikumpulkan hingga bunga-bunga bermekaran kembali, dan seberapa kuat mereka dapat bertahan. Alam bisa menjadi tempat pembantaian tak pandang bulu, terlebih lagi bagi hewan-hewan kecil di dasar rantai makanan.

Bayang megah istana membuat siluet cantik namun tegas di hamparan padang rumput. Lengkap dengan ornament shibi keemasan di sudut atap yang menanjak, gerbang besar dengan kolaborasi ornamen emas berdiri kokoh dijaga dua prajurit berbalut kake-yoroi—baju perang prajurit—lengkap dengan chokuto—pedang bermata lurus—berdiri terkantuk-kantuk dibuai angin malam. Bayangan kaisar dan halusinasi akan sinyal klan musuh lah yang membuat mereka tergelagap membuka mata sesekali.

Di tengah ketenangan dan udara yang dipenuhi doa-doa kuno, gadis itu terjaga. Tetap sunyi, keluar dari ruang sucinya. Ia merapatkan diri pada bayang gelap di tiap sudut bangunan, menyatu bersama keheningan dan menelan tiap sengalan napas untuk dirinya sendiri. Satu dua kali penjaga dan pendeta kuil melintas silih berganti tanpa menyadari sosok yang beringsut di dekat mereka.

Jarak antara kuil dengan bangunan utama cukup jauh, namun adanya serangan dari klan-klan setempat mengharuskan prajurit dan penjaga bersiaga di sekitar bangunan tersebut setiap waktu. Terlalu banyak prajurit berarti terlalu banyak risiko tertangkap sebelum mencapai pintu keluar. Tak ada jalan lain yang lebih aman selain memutar. Lagipula, alas tanah dan rumput akan meredam suara langkahnya.

“Akhirnya…” Ia membatin.

Bukan pertama kalinya gadis itu berpikir untuk pergi keluar. Merobek atmosfer suci yang mengelilingi kuil istana. Sungguh hal terhormat bekerja demi sang dewi dan titisannya. Tapi ada kalanya ia lelah, muak, dan ingin keluar. Udara bebas, tanpa benteng-benteng luas membentang. Rakyat jelata, tanpa perbedaan strata yang jelas. Keluarga, tanpa kepura-puraan.

Benaknya terlempar pada gegap bayang-bayang samar yang dapat diraihnya.

Ayahnya, apa Ia baik-baik saja?

Ibunya, bagaimana keadaan penyakit paru-parunya?

Dan adik bungsunya, apakah ia berhasil dilahirkan dengan selamat? Jika ia hidup, mestinya ia sudah… Delapan, Sembilan, sepuluh. Ya, sepuluh tahun sekarang.

Ia rindu ayahnya; seorang petani dengan telapak tangan lebar dan kasar, pertanda membanting tulang di ladang adalah hidupnya, dan ibunya; seorang ibu rumah tangga dengan keriput di wajah sebagai bukti pengabdiannya.

“Tak apa, harusnya sebentar lagi, jika ini berhasil.” Gadis itu berusaha meyakinkan dirinya sendiri.

Tidak perlu naif, Ia tahu pendeta tertinggi akan segera menyadari bahwa jumlah miko-nya tidak lengkap ketika matahari telah naik nanti, namun jika ia dapat melewati gerbang, hanya perlu berjalan ke dusun terdekat di utara kemudian menumpang gerobak pedagang yang melintas untuk mencapi rumahnya di sebuah kampung kecil di pinggiran Nara. Beberapa jam sudah cukup untuk sekadar memastikan keluarganya baik-baik saja sebelum prajurit istana datang berbondong-bondong untuk membawanya kembali.

Lihat selengkapnya