Dikisahkan bahwa perseteruan Dewi Amaterasu, sang dewi matahari, dengan saudara lelakinya, Dewa Susanoo yaitu sang dewa laut, adalah perseteruan yang tak berujung. Salah satu perseteruan mereka berdua yang dimenangkan oleh Dewi Amaterasu tidak dapat diterima oleh sang dewa laut. Susano-o kemudian marah, mengamuk, dan merusak alam bumi dan langit, termasuk persawahan suci milik Dewi Amaterasu.
Ledakan amarah Susano-o tersebut membuat Amaterasu terkejut dan murka. Kemarahan dan kesedihan hebat yang sang dewi alami membuatnya bersembunyi di dalam Ama-no-iwato, yaitu Gua Batu Langit. Namun ratapan dan penolakan sang dewi untuk keluar dari gua dan menampakkan dirinya membuat alam bumi dan langit diliputi kegelapan dan musim dingin berkepanjangan. Makhluk bumi mati persatu, alam di ambang kehancuran hingga para dewa terpaksa memutar otak, mencari akal agar sang dewi mau keluar dari persembunyiannya dan kembali menyinari alam.
Saat itulah Ame-no-uzume, sang dewi fajar dan kebahagiaan, menari dan bernyanyi di depan Gua Batu Langit. Begitu indah dan sarat akan sukacita sehingga Dewi Amaterasu akhirnya keluar dari gua dan sinarnya kembali benderang menerangi dunia.
Atas legenda itu, Ame-no-uzume berperan besar dalam menyelamatkan kehidupan bumi dan langit, dan tariannya terus diwariskan turun-temurun sebagai tarian persembahan bagi para dewa, yang selanjutnya dilakukan oleh kami para miko, gadis-gadis pendeta Shinto. Karena itulah kami para miko disebut-sebut sebagai putri dari Dewi Ame no Uzume.
Miko pada umumnya adalah pekerjaan yang diwariskan turun-temurun. Seorang pendeta kuil akan mewariskan posisinya kepada anak lelakinya, sementara anak perempuannya menjadi miko—gadis pendeta—hingga mereka menikah. Hal ini pun berlaku khususnya bagi pendeta di kuil kekaisaran. Perbedaannya hanya pendeta terbaik dengan kekuatan terbesar, yang dapat melangsungkan ritual Shinto di kekaisaran. Tapi aku, Nichie Hijiri, rupanya adalah seorang anomali.
Sepanjang yang aku ingat di hidupku, tubuhku tidak sepenuhnya milikku sendiri. Ini yang aku sadari ketika penglihatanku dapat mengabur secara tiba-tiba, suaraku digantikan oleh suara lain yang tak pernah aku dengar, tubuhku bergerak sendiri tanpa kuperintahkan, dan semua orang melihatku dengan raut muka takjub sekaligus ketakutan.
Kerasukan. Tanpa peringatan, tanpa firasat, dan terjadi begitu saja. Begitu seringnya, sejak aku bisa mengingat. Kadang kala hanya roh yang ingin mengetahui rasanya menjadi manusia. Kadang dewa-dewi tingkat rendah yang meracau memberi nasihat atau permintaan kepada manusia. Kadang pula roh-roh liar yang bersifat destruktif dan membahayakan manusia lainnya.
Ayah dan ibuku adalah rakyat jelata. Mereka petani biasa yang selalu berjuang agar perut kelima anaknya dapat terisi setiap harinya. Tidak ada setetes pun, sepanjang yang kutahu, darah onmyouji—pendeta pengusir roh jahat—atau praktisi spiritual Shinto lainnya mengalir di keluarga kami. Karenanya pasti tak pernah terbersit dalam imajinasi mereka yang paling liar sekalipun, memiliki seorang putri dengan kemampuan sebagai medium roh yang seringkali tidak dapat dikendalikan. Jika kedua orang tuaku harus dihadapkan pada kondisi di mana aku tinggal di rumah bersama kakak-adikku tanpa penjagaan mereka maka tangan dan kakiku akan diikat. Mereka terlalu takut mengambil risiko aku dapat dirasuki roh liar yang membunuh manusia, dengan saudara-saudaraku sebagai sasarannya.