Jeritan itu terdengar lagi. Tangisan anak laki-laki, meraung-raung bagai orang kesetanan, melatari pandangan yang seluruhnya gelap gulita. Suara cambukan mengikuti setelahnya, menggema tanpa menggetarkan hitam pekat. Lagi. Lagi. Lagi. Cambukan itu tak kunjung berhenti.
Tiba-tiba suara raungan yang lebih dalam dan lebih kuat kemudian menyeruak. Terdengar seperti binatang buas, namun dengan ukuran begitu besar hingga entah di mana ujungnya. Seolah raungan itu merobek suara tangis dan cambukan itu hingga berhenti, dunia hening seketika, perasaan mencekam seolah meliputi hitam legam ini.
Satu detik, dua detik berlalu, hingga kemudian muncul api di ujung pandangan. Begitu kecil hingga tak dapat menerangi sekitarnya. Aku memicingkan pandangan pada api itu untuk menyadari bahwa benda itu semakin mendekat, seolah aku sedang berjalan ke arahnya. Atau benda itu yang berjalan ke arahku?
Kobaran api semakin mendekat hingga akhirnya semakin terlihat bahwa bukan sekadar api, ada seorang anak lelaki di dalamnya.
Dibakar hidup-hidup.
“KAKAK!”
Anak lelaki itu menjerit dengan suara melengking ketika matanya menangkapku. Aku terkesiap. Membatu di tempatku berdiri. Seluruh tubuhku dingin, gemetar hebat hingga ujung kaki. Kepalaku sakit seakan dihantam bertubi-tubi dengan godam besar.
“Motoi…”
Bagai kesetanan, aku berlari menghampiri api. Tangan bocah itu menggapai-gapai dengan sia-sia, aku mengulurkan tangan, tak terpikir bahwa tanganku pun dapat terbakar. Ia masih menjerit-jerit dan menangis ketakutan. Matanya menatapku nyalang, berharap untuk diselamatkan.
Motoi, selamatkan Motoi.
Tanganku menggapai, dan menggapai lagi. Kobaran api semakin besar, dimulai dari ujung jari, lengan, bahu, kini seluruh tubuh bagian atasku habis ditelan api. Sakit. Sakit sekali.