Mentari mengintip dari balik gumpalan awan, torehkan sembarut cahaya yang sulit di gambarkan. Dewi melangkah cepat menuju kantor pengurus. Mengucapkan salam kemudian duduk di tempat yang telah disediakan.
Seorang wanita duduk dengan tegap dihadapannya. Dewi menarik nafas kemudian menyampaikan keinginannya untuk berganti mentor. Mbak Rianti masih mendengarkannya dengan teliti, Dewi antusias bercerita dan mencoba meyakinkan mbak Rianti atas usulannya. Penuturan Dewi selesai, mbak Rianti tersenyum simpul dan dengan santainya menimpali negosiasi Dewi.
"Begini Wi, pesantren ini sedang membutuhkan pengakuan dan salah satu jalannya adalah prestasi." Dewi mengangguk tanda mengerti.
"Nah, di ajang ini kami berharap kamu bisa menjadi yang terbaik, walaupun itu bukan jaminan, dan satu-satunya orang yang berpengalaman dalam hal seni di pesantren ini ya cuma kang Ali." Dewi terdiam cukup lama, mencoba mencerna dengan baik apa yang mbak Rianti utarakan.
"Tenang aja Wi, dalam setiap latihan kamu tidak harus bertemu dengan kang Ali, cukup memberikan hasil lukisan beserta filosofinya agar kang Ali dapat menilai sampai mana bakat kamu dan apa yang perlu diperbaiki." lanjut mbak Rianti mencoba menghilangkan kekhawatiran yang Dewi rasakan.
Dewi berfikir sejenak, menghela nafas kemudian angkat bicara "ya sudah mbak, kalau begitu Dewi pamit," ucap Dewi akhirnya."Assalamualaikum..." sambung Dewi.
"Wa'alaikumussalam." mbak Rianti tersenyum simpul.
Dewi keluar dengan lunglai, pikirannya telah terbang kemana-mana, memikirkan rasa yang telah lama ingin ia lupakan akibat pangkat yang tak sederajat, terlebih kang Ali yang terlihat sempurna di mata banyak wanita.
Dewi terus berpikir bagaimana ia dapat menghapus semua rasa ini, jika ia selalu terkait urusan yang sama? Dalam hal keperluan ndalem misalnya, belum lagi mentor dan pertemuan yang tak pernah ia rencanakan. Tak urung sahabatnya sendiri yang masih gencar menyiram agar rasa itu tetap ada, tak peduli latar belakang dan derajatnya, karena bagi Ica semua itu tidak begitu penting.
Dewi menghempaskan tubuh di kursi taman pesantren, tanpa komando tangannya muali menari di atas selembar kertas.
Sebuah lukisan telah selesai, ia membubuhi tanggal dan beberapa kata di pojok kanan atas "Bui Rasa" itulah lukisan pertama yang ia ciptakan untuk mempersembahkan kepada sang mentor, tak hanya lukisan namun emosi juga terkandung didalamnya. Dewi menyeka setetes air di pelupuk mata, teringat perasaan yang terpenjara oleh keadaan kerena ia tak ingin semua terus seperti ini. Tapi saat ini ia hanya dapat menunggu, menunggu sampai rasa perlahan terbang di tiup sang masa.
***
Selembar lukisan terlampir indah di atas meja, kang Ali meraihnya perlahan, mencoba mencermati filosofi yang tersirat dalam setiap inci ulasan.
Kang Ali menajamkan pandangan, memastikan kata yang tertulis yang tertulis jelas di pojok kanan atas "Bui Rasa"? Batin kang Ali sambil mengernyitkan kening. Ia terpana dengan karya yang telah tersuguhkan, namun ia bimbang dan bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi dengan Dewi. Jika sekedar karya tak mungkin sangat tajam mentransfer emosi, jika itu siratan rasa. Lalu siapa penyebab itu semua? Puluhan spekulasi melayang-layang di otak kang Ali, ia khawatir jika ada sesuatu hal yang sedang membentengi.
Pukul 09.00 tepat, kang Ali beranjak dari tempat duduknya, membereskan beberapa kitab beserta lukisan yang telah ia amati. Ia membenarkan kopiah dengan senyum yang terulas penuh arti, seperti sang pemburu yang berhasil mendapatkan sesuatu.
Ruang kelas terlihat ricuh, menanti seseorang yang tak pernah absen mengampu. Beberapa anak telah bersiap untuk pulang, tak jarang pula yang mencoba terlelap di tengah-tengah kegaduhan. Suasana semakin tidak kondusif, teriakan dimana-mana, belum lagi komentar tiap santri yang merasa paling benar.
Derap kaki terdengar jelas, terantuk keras dan sangat cepat. Seorang santriwati menghentikan langkah di daun pintu, menarik nafas panjang dan mulai berbicara dengan lantang.
"Temen-temen ada kak Ali." teriaknya sambil bergegas ke tempat duduknya semula.
Suasana berubah menjadi hening, pertanyaan pun muncul dimana-mana. Tak terkecuali Dewi yang juga penasaran dengan apa yang akan dilakukan kak Ali. Ica masih dengan tingkah usilnya menyikut lengan Dewi dan mulai menggodanya.
Kang Ali melangkah dengan mantap, walau masih berkali-kali membenarkan kitab dalam gendongannya. Ia membenarkan posisi duduk kemudian menghela nafas perlahan.
"Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh..."
Wa'alaikumussalam warahmatullahi wa barakatuh." seisi ruangan menjawab serentak, sambil terus mengamati gerak-gerik kang Ali dengan detail seakan tak ingin satu detik saja terlewati.
"To the point aja, mulai hari ini saya diberi amanat untuk mengantikan Bapak Kyai dalam majlis ini, terlebih untuk menjelaskan kiasan-kiasan yang ada dalam kitab ini." kang Ali berhenti sejenak, semua santriwati masih memperhatikan kecuali Ica yang sibuk menggoda sahabatnya Dewi.
"Untuk hari ini saya hanya akan menyampaikan sebuah petuah tentang kehidupan, mulai dari yang paling kecil yaitu hati." sambung kang Ali.
Semua masih terfokus kearahnya termasuk Ica yang sudah berhenti menggoda Dewi. Hanya Dewi yang gusar dan tertunduk lesu, wajahnya pun perlahan memerah.
"Kenapa hati? Alasannya adalah, ketika sebuah kehidupan berjalan, akan ada masa dimana terjadi sebuah ketidak nyamanan yang menimbulkan ketidak seimbangan antar komponen. Nah,,, komponen yang pertama kali harus diperbaiki adalah hati karena dari hati, etika bermula dan dari etika rantai hubungan tercipta hingga pada akhirnya berujung pada daur kehidupan."
Seisi ruangan masih terpaku, memastikan setiap inci perkataan yang terlontar. Kang Ali kembali menghela nafas.
" dan intinya adalah... Didalam hati terdapat rasa. Dan rasa diibaratkan seperti air dan minyak, walaupun selamanya tak bisa bersatu namun mereka dapat hidup berdampingan. Itulah rasa, dimana kebencian dapat bersanding dengan kebersamaan karena apa? Karena kecewa dan bahagia itu satu paket." kang Ali membereskan kitab lalu berdiri. Dengan senyum khasnya, ia mengedarkan pandangan "Sekian dari saya, tsuma wassalamu'alaikum warahmatullahi wa barakatuh..."
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wa barakatuh."
Kang Ali menutup perbincangan, melangkah keluar dengan teluk tangan yang indah membahana, menandakan pola pikir sang pengganti telah mencuri perhatian di awal perjumpaan.
Dewi masih terdiam, wajahnya merah padam menahan perasaan yang entah apa telah memprakarsainya. Ia bingung dengan apa yang dikatakan kang Ali, apakah ada sangkut pautnya dengan filosofi lukisan yang ia buat atau hanya sekedar petuah sebagai pembuka perkenalan? Ia membenamkan wajahnya ingin sekali mengalihkan sesuatu dari anak matanya, namun rangkulan lembut Ica membuatnya sadar, tak seharusnya ia seperti ini... Menggantungkan perasaan tanpa taku cara meraihnya.