Ruangan 3×4 berdinding putih dengan dua almari besar dan satu meja rias, terlihat nyaman dengan jendela yang berada di salah satu sudutnya. Seorang remaja masuk dengan tim buku yang berada di gendongannya. Ia membanting pintu dengan kesal, melepaskan kerudung kemudian melemparkannya ke atas ranjang. Wajahnya merah, seperti sedang menahan amarah, ia duduk di atas ranjang, lengkap dengan air mata yang mulai menetes.
Ia menarik selimut kemudian melemparkannya ke arah pintu, menyambar barisan make up yang berbaris rapi di atas meja rias, tak hanya itu ia juga mengambil vas bunga dan melemparkannya ke arah jendela.
Pyarrr!! Kaca pecah suara bantingan terdengar kemana-mana, namun ia masih menjatuhkan barang-barang sebagai pelampiasan amarah. Ia diam air matanya masih menetes namun tangannya tak berhenti mencari dan menyambar sasaran selanjutnya.
Suara langkah kaki terdengar menaiki tangga, masuk ke kamar dan mulai memeluk remaja itu mengelus rambutnya untuk mencoba menenangkan, agar ia tak semakin beringas. Ia dudukkan Vika di atas kursi, dan mulai memandangnya dengan lekat.
"Vik, kamu kenapa nak?" Tanyanya halus, butiran air mata masih deras menetes membuat laki-laki paruh baya itu ikut berkaca-kaca tak tega dengan apa yang tengah terjadi dengan putrinya, Vika.
"Pa, Vika mau ikut lomba melukis!" Teriaknya lantang, membuat pak Haidar terkejut dibuatnya.
"Vika, dengerin papa ya nak! Pa....."
"Nggak mau!" Potong Vika sebelum pak Haidar menyelesaikan perkataannya. "Pokoknya Vika gak mau denger apa-apa lagi dari papa!"
Pak Haidar semakin bingung bagaimana mengatasi Vika yang belakangan ini menjadi sangat egois dan keras kepala.
Pak Haidar menghela nafas "Vik, bukanya papa gak mau tapi..."
"Udahlah pa, nggak usah diteruskan! toh juga papa gak mau liat aku bahagia kan?" Ucap Vika dengan berteriak.
Deg! Pak Haidar tercengang menyaksikan Vika yang sudah berani berteriak kepadanya.
Semenjak kepergian sang ibu Vika berubah menjadi anak yang sulit di atur dan keras kepala. Keinginannya harus dipenuhi dalam waktu sekejap, jika tidak ia akan berbuat sesuatu yang nekat.
Vika mengambil pecahan kaca dan meletakkannya di pergelangan tangan. Pak Haidar panik, keringat mulai membasahi wajahnya.
"ya udah iya, papa kabulkan keinginan kamu. Besok papa pergi ke kantor madrasah." Ucap pak Haidar sambil mengambil potongan kaca dari tangan Vika
Vika menarik satu sudut bibirnya, merasa menang dengan kesepakatan yang telah ia menangkan tadi. Ia berdiri dan berlalu meninggalkan papanya yang masih tertunduk lesu di lantai kamar tidur.
***
Jam Istirahat datang sangat cepat. Dewi bergegas menuju ke kantor madrasah. Kali ini ia tak dengan tangan kosong tentunya, tiga lembar lukisan telah siap ia suguhkan. Kantor terbilang sepi, menyisakan kang Ali dan seseorang disana. Mata Dewi menyipit, mencoba mencermati siapa yang sedang berbincang.
Pak Haidar? Ucap Dewi lirih. Dewi merasa ada yang ganjal, tapi ia lebih memilih duduk sambil menunggu mereka selesai berbincang.
Cukup lama Dewi menunggu, membuat pikirannya sedikit bergerilya. Menerka-nerka bagaimana reaksi kang Ali jika melihat hasil karyanya saat ini. Karya yang penuh dengan warna dan nyawa, katanya.
Langkah kaki terdengar mendekat, membuyarkan plot yang sudah setengah tertata. Dewi menunduk, namun pak Haidar malah memandangnya dengan tatapan kosong yang sulit dimengerti. Ia tersenyum hampa penuh sandiwara, kemudian berlalu tanpa satu patah katapun.
Dewi bergegas bangkit dan mengucapkan salam, lalu masuk ke ruangan. Kang Ali sedikit terkejut dengan kehadiran Dewi, membuat satu hal lagi yang harus ia pikirkan. Membuatnya berjaga-jaga namun tak merasa curiga.
Mereka duduk berhadapan, Dewi mengulurkan ketiga lukisannya kepada kang Ali. Ia menerimanya sambil tersenyum, namun kali ini kang Ali merapikan kertas itu tanpa diamati terlebih dahulu. Dewi heran tapi tak mau ambil pusing, "mungkin saja kang Ali sedang punya pekerjaan yang lain." Batinnya.