Pagi hari menyapa dengan irama, irama kicauan burung yang mulai bersahutan. Sembari angin yang sedang berdesir lirih bersambut mentari yang masih mengintip dari balik awan.
Nyaman sudah pagi ini, terlebih Firkoh4 Dewi yang mendapat giliran untuk berolahraga. Pesantren ini memang mengadakan olahraga untuk setiap harinya, dengan bergantian kelompok tentunya. Walau sedang berolahraga, santriwati masih memakai atribut lengkap pesantren, mulai dari sarung hingga kerudung. Tapi jangan salah, mereka sama sekali tak merasa kesulitan, tetapi tetap saja terkadang ada juga yang mengalami cidera.
Olahraga kali ini adalah voli. Mereka telah selesai melakukan pemanasan. Permainan dimulai, Dewi dan Ica berbeda kubu, Dewi kanan sedangkan Ica sebaliknya.
Gelak tawa terdengar menggema, menandakan permainan yang mulai terasa asyik. Passing sana sini, service bolak-balik hingga terkadang smash pun di daratan. Salah satu teman mereka tersungkur akibat sarung yang ia kenakan tiba-tiba melorot. Dengan tergesa ia berlari berniat untuk memperbaiki namun apa daya salah satu kakinya malah menginjak sarung tersebut, dan insiden pun terjadi.
Bukan teman namanya jika ada yang jatuh langsung di tolong, mereka selalu tertawa dahulu sebelum akhirnya salah satu dari mereka berlari menghampiri. Teman yang lain masih tertawa, termasuk Dewi. Ia tertawa terbahak hingga tanpa sengaja mengalihkan pandangan ke sisi lain. Tawanya seketika pudar, melihat dua orang sejoli yang sedang tukar argumentasi. Vika menyerahkan sebuah kanvas, kang Ali meraih kemudian mengatakan sesuatu.
Dewi tak dapat mendengar percakapan mereka, tapi dari raut wajah Vika ia terlihat sesekali tersipu. Dewi bingung apa yang harus ia percaya apakah ia senang atau kecewa. Tunggu! Kecewa? Ia tak merasa kecewa tapi entah ada rasa tak enak yang tiba-tiba muncul saat bola matanya bertumpu kepada mereka. Dewi menghentikan pikirannya, ia atur agar kembali ke dalam permainan.
Gelak tawa telah reda permainan pun kembali dilanjutkan. Rasa ingin tahu Dewi serta merta tumbuh, ia kembali menoleh ke titik kang Ali berdiri.
"Wi Dewi... Awas! Teriakan Ica tak membuatnya menyingkir, sedangkan teman yang lain menatap Dewi dengan khawatir.
Brukk! Bola tadi mendarat kasar di pelipis Dewi. Ia mengerjapkan mata sambil memegangi pelipis kanannya. Pandangannya mulai kabur, semakin kabur kemudian gelap.
Dewi dibawa ke UKS, disana telah ada petugas yang bersiap menjalankan piket pada setiap harinya. Dewi di baringkan di atas matras, teman yang mengantar pun tak bisa menemani disana, karena ada jadwal mengaji setelah ini tak terkecuali Ica.
Dengan tangannya yang lentik mbak Ema mengoleskan sesuatu di bawah hidung Dewi, sambil mempersiapkan balok es dan kain sebagai kompres. Lima menit telah berlalu, Dewi merasakan bau yang sangat menyengat. Ia mengerjapkan mata perlahan, kesadarannya mulai genap. Melihat Dewi yang telah sadar, mbak Ema tersenyum lega kemudian berbalik arah untuk mengeduhkan minuman untuknya.
"Assalamualaikum..." Suara laki-laki mengucapkan salam diikuti bunyi pintu UKS yang terbuka.
"Wa'alaikumussalam" jawab mbak Ema dengan meletakkan kembali gelas yang tadi ia pegang.
Lelaki jangkung dengan lesung pipi tersenyum di daun pintu, mengisyaratkan agar mbak Ema membantu menurunkan kotak-kotak obat yang sedang ia bawa. Kopiahnya miring namun tak mengurangi nilai kerapian padanya. Dewi yang masih setengah sadar melihat ke mbak Ema yang mulai menurunkan satu persatu persediaan obat, tanpa sadar Dewi melihat ke bagian kaki laki-laki itu.
"Jari manis kaki kanannya tidak ada?" Batin Dewi, pikirannya pun terbang ke peristiwa 16 tahun yang lalu.
***