Malam sudah larut, jarum jam hampir menunjuk di angka sebelas. Suasana indekosku sudah mulai sepi. Layar laptop yang kubiarkan menyala sejak tadi nampak masih kosong. Belum ada satu huruf pun yang kuketik di sana, sementara kulirik jadwal deadline besok pagi. Mampuslah aku.
Deadline, deadline, dan deadline. Kepalaku mendadak seperti berputar. Ya, dikejar deadline cerpen dan artikel seolah sudah menjadi bagian paling urgen di hidupku sejak memutuskan bekerja di Majalah Ceria.
Sejak SMA, aku memang hobi menulis. Bahkan aku sendiri rasanya masih tak percaya jika kuingat “kenekatanku” dulu. Pulang sekolah langsung ganti baju, lantas meluncur berburu berita. Lupa makan, lupa minum.
Aku mungkin bukan seorang cewek yang sempurna. Aku bukan anggota chiliders yang banyak dikagumi para cowok. Aku juga bukan seorang Tuan Putri yang setiap pagi turun dari mobil mewah. Aku hanya seorang cewek sederhana, dengan kaca mata minus dan penampilan seadanya.
Sakit hati? Kadang sih. Dan aku hanya bisa marah, tertawa dan berandai-andai dalam puisi dan cerpen yang sering aku kirim ke Mading Sekolah. Saat kuliah, aku sengaja mengambil jurusan Ilmu Komunikasi. Harapannya cuma satu, aku ingin menjadi penulis. Meski hampir semua kolega dan temanku bilang, “Lo nggak bakal bisa kaya hanya dengan menjadi penulis!” Well ...! Jika kita hanya terikat pada uang, berapa pun jumlah yang kita dapatkan, itu tak akan pernah membuat kita merasa cukup. Bukankah kesuksesan itu tidak semata dinilai dari berapa jumlah materi yang kita peroleh? Meskipun kita memiliki segalanya, rumah dan mobil mewah, tapi jika kita tak bisa membagi waktu dan menikmati pekerjaan kita, aku rasa itu percuma. Begitupun sebaliknya. Bagiku, sukses adalah happynomic. Bahagia dan menghasilkan.
Aku juga sempat menjadi anggota Redaksi Majalah Fakultasku. Tulisanku mulai dari ABG, musik, gaya hidup, unjuk rasa dan semua kehidupan mahasiswa. Jelang lulus, akhirnya menjadi anggota tetap sebuah majalah. Tepatnya tiga tahun lalu, aku diberi kesempatan bergabung dengan Majalah Ceria, impianku sejak lama. Dan, sejak saat itulah hidupku mulai berubah. Aku seolah telah menemukan sebuah keberanian yang membuatku sangat percaya diri. Mungkin memang aku tak memiliki segalanya, tapi aku bangga menjadi diriku sendiri. Aku yakin hidupku akan selalu indah. Dan, aku akan selalu menikmati setiap detik yang bergulir di hidupku ini. Tik, tanpa ada satu pun yang terlewatkan.
***
Lagi-lagi aku bangun terlambat. Dan bisa ditebak, pagi ini pasti berantakan seperti biasanya. Aku mengenakan blus ketat dengan lengan berenda warna pink. Untunglah kantor kami tidak terlalu mempersoalkan masalah penampilan. Dan inilah yang membuatku sangat betah bekerja di Majalah Ceria. Rambut sebahuku sengaja kukuncir ekor kuda, lalu menyisakan sebagian poni menutupi dahi. Kelihatannya sedikit lebih fresh dibanding dengan rambut tergerai. Dan aku sudah putuskan akan memakai kaca mata minusku setiap saat, setelah insiden memalukan kemarin. Nabrak dinding.
Aku tiba di kubikel tepat pukul sembilan. Setelah menghidupkan CPU komputer, aku buru-buru nge-print dua cerpen yang sukses kuketik semalam sekaligus sukses membuatku ngantuk berat pagi ini. Tanpa pikir panjang, aku pun segera bergegas menuju sebuah ruangan kecil, ruangan Redaktur Pelaksana, yang dulu ditempati Mbak Deisy, atasanku di bagian redaksi.
“Pagi …,” ujarku setelah mengetuk pintu lebih dulu. Sosok itu mempersilakan aku masuk. Sekilas mejanya nampak berantakan dengan beberapa artikel dan liputan lain yang sedang dikoreksinya. Dan, sebentar lagi cerpenku akan bernasib sama.
“Lo yang nanganin fiksi?” tanyanya saat aku menyerahkan dua naskah cerpen yang baru saja ku-print dan satu lagi cerita bersambung yang rutin terbit setiap edisi.
“Yup,” jawabku mantap.
“Biar gue baca dulu,” ujarnya tanpa menatap wajahku. Aku lantas bangkit dan pamit. Begitu aku akan membuka pintu, dia malah mencegahku.
“Tunggu, nama lo siapa?” mungkin karena aku tidak sempat hadir saat acara perkenalan kemarin.
“Chika,” jawabku. Kulihat dia mengangguk, lalu aku bergegas keluar dari ruangannya. Tapi, dia mencegahku lagi.
“Gimana dahi lo, udah sembuh karena nabrak dinding kemarin?” lanjutnya membuat aku melongo.
“Hah?” aku tak percaya dia masih mengingat kejadian memalukan kemarin.
Aku balik ke kubikel dengan sangat kesal. Wajahku bahkan merah padam karena menahan malu. Ternyata ingatannya kuat juga. Dia bahkan masih mengingat kejadian memalukan kemarin. Ini sepertinya pertanda buruk. Aku harus waspada.
***
Begitu sampai di kubikel, kulihat Lulu sedang asyik main game di komputer milikku.
“Lo nggak ada kerjaan, ya?” tanyaku sinis karena dia masuk tanpa permisi. Dan itu sudah sering terjadi. Lulu hanya mencibir ke arahku. Cewek tanpa rasa bersalah ini adalah teman terbaikku saat ini, soulmate, sahabat sejati atau apalah namanya. Aku juga heran mengapa dia bisa menjadi sahabat baikku. Mungkin karena kita berdua sangat sehati, kecuali dalam hal warna favorit. Cewek dengan tinggi badan 170 cm ini sangat menyenangi warna kuning dan tergila-gila pada segala aksesori yang bermotif SPONGEBOB. Hellow, apakah itu artinya dia sama lebay-nya dengan tokoh kartun favoritnya itu?
“Gimana, lo udah ketemu sama Bos baru lo yang super duper cakep itu?” belum juga aku membalas, dia melanjutkan, “Aaaah, kepala botaknya itu loh ... rasanya bikin gue mabuk kepayang.”
What? Oke, aku rasa dia memang benar-benar kembaran Spongebob yang lebay. Dan sumpah mati aku tidak mau menjadi Patrik, sahabat Spongebob, karena secara kebetulan aku juga menyenangi warna PINK.