Aku menatap lama bayanganku di depan cermin. Rambut sebahuku masih tergerai dengan poni menutupi dahi.
“Penampilan lo juga, poni dan kuncir ekor kuda. Kenapa nggak sekalian aja lo pake mahkota dan sepatu kaca?”
Memangnya gue CINDERELLA .... Batinku menjerit sebal saat mengingat kata-kata Angga. Apa pentingnya dia menilai penampilanku? Memangnya dia siapa? Fashion Stylist juga bukan.
Sesaat aku menjepit poniku, lalu menggulung rambutku begitu saja dengan tusuk konde. Lumayan. Apa aku sudah kelihatan dewasa sekarang?
Pagi ini aku boleh datang terlambat, karena pekerjaanku sudah selesai. Jika majalah sudah naik cetak, aku bisa bersantai-santai untuk beberapa hari ke depan. Dan aku begitu menikmati saat-saat santai seperti ini.
“Pagi Chika …,” sapa seseorang saat aku sedang menaiki anak tangga. Dan bisa ditebak, dari suaranya yang terdengar genit, itu pasti Pak Lien. Sosoknya terlihat sedikit berlari menaiki anak tangga agar bisa sejajaran denganku.
“Pagi Pak,” ujarku menoleh sebentar padanya, yang kini sudah berada tepat di sebelahku. Kepalanya sudah agak botak dengan sisiran rambut klimis. Pakaian necis dan senyum yang dipaksa seimut mungkin. Lirikan matanya begitu genit. Oh, rasanya saat ini aku ingin melompat saja dari tangga.
“Duluan, ya Pak …,” ujarku lalu ngacir terbirit-birit. Jangan sampai dia mengacaukan mood-ku yang sudah sangat bagus pagi ini. Kenapa juga Ibu Direktur mau menerima orang seperti dia bekerja di kantor ini? Apa hebatnya sih dia?!
Begitu sampai di lorong menuju ruang kerjaku, aku malah berbelok menuju ruangan sebelah. Ruang Akuntansi dan Personalia, tempat Lulu berada.
“Woiii …,” seruku mengagetkannya. Lulu yang sedang serius mengetik di dalam kubikelnya, menatapku kesal sambil mencak-mencak. Aku tertawa puas melihat ekspresinya.
“Lo sibuk, ya?” sindirku membuatnya tertawa. Biasanya dia yang selalu mengganggu aku setiap kali bekerja, dan sekarang saatnya balas dendam. Lulu pasti sibuk mengurusi laporan keuangan di akhir bulan seperti ini.
Aku menyandarkan kepalaku di dinding kubikel Lulu yang penuh dengan gambar Spongebob. Aku jadi ragu kalau tempat ini masih bisa disebut kantor. Ini lebih mirip kota Bikini Buttom, tempat Spongebob tumbuh dan berkembang.
“Lo kenapa Chik?” tanya Lulu yang ternyata diam-diam mengawasi gerakanku, yang sejak tadi terus mendesah berat.
“Sial, tahu nggak gue ketemu siapa pagi ini?”
“Siapa?” tanyanya penasaran.
“Pak Lien,” jawabku membuat Lulu tertawa keras.
“Anggap saja itu rezeki lo,” jawabnya kejam.
“Dia bahkan nelepon gue semalam.”
“Apa? Hahahaha ….” Lulu terus saja tertawa seolah tidak peduli pada perasaanku yang serasa ingin mati. Apa nggak ada cowok lain di dunia ini yang pantas meneleponku? Kenapa harus Pak Lien, bapak ganjen yang sudah punya istri dan anak, tapi masih bertingkah seperti anak muda. Kerjaannya setiap hari tebar pesona, pamer senyum imut di mana-mana. Najis deh.
“Daripada jomblo seumur hidup, mending lo terima aja Chik. Apalagi dia punya sedan biru yang bakal ngantar jemput lo ke mana-mana,” saran Lulu membuatku ingin muntah.
“Kenapa bukan lo aja?! Lo ‘kan suka cowok yang kepalanya botak? Lo juga pengin dapat cowok yang punya mobil ‘kan, biar lo nggak terlalu sering kena angin malam. Nah, gue yakin banget kalau Pak Lien itu sangat cocok buat lo.”
Plakkk …. Lulu melempar aku dengan pulpen, untung saja aku sigap menghindar.
“Hahahaha ….” aku tertawa puas melihat wajah Lulu yang merah padam.
“Sialan lo Chik,” semburnya marah, tapi akhirnya dia juga ikut tertawa. “Besok gue mau bawa tali ke kantor. Terus makhluk ganjen itu bakal gue gantung di parkiran,” ujarnya asal.
“Setelah itu kita arak dia keliling kantor, lalu kita lempari dia dengan telur busuk,” sahutku, disusul tawa.
“Jangan lupa dengan tarian persembahan. Huhu ... haha ....” Lulu menirukan gaya orang hutan yang sedang berpesta.
“Terus kita kasih dia kemenyan dan sesajen lainnya buat dikurbankan.”
“Pasti arwahnya ditolak. Hahahaha ….” aku dan Lulu tertawa lagi.
“Woiii … berisik banget lo berdua,” teriak rekan kerja Lulu dari kubikel sebelah, sontak membuat aku dan Lulu diam seketika. Kita berdua pun hanya senyum-senyum simpul saat saling pandang.
“Lu, ini laporan keuangan yang lo minta kemarin,” aku terdiam seketika melihat sosok yang baru saja masuk ke kubikel Lulu saat ini.
“Oh okey, thanks ya,” balas Lulu, lalu sekilas melirik ke arahku yang sedang terpana hebat.