“What’s her name again, Margarethe?”
Jas putih itu ia kenakan, sementara sepasang tungkainya melangkah dan menghapus jarak. Sepasang iris abu-abu cerah menatap lurus. Ujung sepatu pantofel timbulkan suara ketuk, seirama dengan suara sepatu dari suster di sebelahnya. Lelaki itu mengurat pelipis, sedikit pusing. Sang surya telah bersembunyi ke balik belahan bumi lainnya dan burung hantu sudah berkeliaran di angkasa. Ini sudah waktunya untuk ia pulang–setidaknya, ini bukan bagiannya dalam bekerja.
“Uh …, Carmen Thomas, 22 years old. She said herself that she wants to meet you personally, Doctor Agastya. She … has mental illness, I believe. And she’s making a fuss.”
Ah–ada gangguan pada kejiwaan. Tak heran bila dokter psikolog dipanggil untuk hal itu. Namun setidaknya sang pasien harus membuat jadwal alih-alih datang tiba-tiba dan menuntut untuk diperiksa.
Kenapa aku? Agastya menautkan alisnya. Ketika ia menemukan sebuah pintu dengan nomor 714 di tengahnya, Agastya menekan gagang itu. Diberinya celah antara pintu dan tempatnya berpijak kini, melihat ke dalam untuk mendapati seorang gadis di atas kasur. Gadis itu tengah duduk menyilangkan kakinya, mengutak-atik sebuah kamera DSLR hitam. Kala suara engsel pintu yang bergeser memenuhi setiap sudut kamar, sang gadis mendongak. Agastya mengerjapkan pelupuk mata, seolah terperangkap oleh sepasang netra hijau, yang secerah gulma dan padang rumput.