Agastya mengacak helai sepekat malamnya. Sibak selimut, langkahnya menuntun pada dapur dalam apartemennya. Mesin kopi dinyalakan dan aroma khas biji kopi mengudara. Ada kuapan sebelum Agastya kembali mengingat apa yang mengganggunya sedari semalam. Menunggu kopinya, Agastya kembali ke kamarnya. Membuka laci yang terpaku di sebelah kasur, ia temukan satu map yang dibawanya pulang. Dilucuti tali yang mengikat berkas itu agar tetap rapi, Agastya duduk menyilang di atas pualam putih metah.
“Hm-mnn … ada jadwal bertemu dengan Mr. McAvoy nanti malam. McAvoy … oh, penderita OCD ringan,” gumaman itu relatif tak jelas. Membikin catatan dalam kepala tentang pasiennya, Agastya menutup map itu, menaruhnya di atas meja. Ia menghampiri mesin kopinya dan menuang kopi pekat ke dalam gelas kaca tinggi. Krim diambilnya dari kulkas dan dituang dalam gelas hingga warnanya menyatu dan menjelma krem. Lalu, ah–gula cair. Gula cair adalah pelengkap perfeksi dalam kopi pagi–Agastya tak mungkin lupa.
Ditenggaknya kopi itu, paduan manis dan sedikit pahit serbu tiap sudut lidah.
“Well, what do I do now? I’m free until evening.”
Setelah itu, Agastya berjalan ke arah kamar mandi dan membasuh diri. Sesudahnya, kaus putih menjadi alas untuk melapisi tubuh, lalu disusul sweater abu-abu tipis dan celana kain biru tua selutut. Meraih ponsel dan dompetnya, Agastya siap keluar dari ruang apartemennya. Gagang pintu itu diberi tekanan dan ditarik ke arah belakang. Namun apa yang menyambutnya adalah yang tidak diekspektasi.
Gadis mungil itu, langkahnya berpijak dan diam di depan pintu dengan tangan kanan terangkat, mengepal–siap mengetuk dan sadarkan tuan rumah atas keberadaannya. Surai gradasi–hitam di atas dan sedikit sewarna kastanya di ujung tajam helainya–mengayun seiring kepala itu bergerak ke samping. Ah–Agastya malah melupakan “pasien” yang satu ini. Bagaimana pun, gadis ini belum resmi menjadi pasiennya. Kali ini, bola mata si gadis bukanlah sewarna limau. Namun malah dwiwarna, berbeda warna–heterokromia. Kelainan mutasi yang indah. Satunya serupa hijau rumput dan sebelah lagi secerah matahari.
“Err,” Agastya sedikit ragu. “Celestia … ?”
“Ah … bukan. Aku Ceara Alka Tamara. Dokter Agastya?”
Agastya mengangguk. Menutup pintu dengan punggungnya, ia mengukir kurva pada bibirnya. Mempertimbangkan berbagai hal sebelum verbalnya terdengar, mengikis canggung yang sedari tadi menyertai semenjak dua pasang mata bertabrak dengan satu sama lain, “Ya, Agastya Tanuwijaya. Salam kenal, Ceara. Mau beli minum? Bubble tea–atau sesuatu semacam itu.”
Ceara tersenyum tipis. Aura gadis itu lebih kalem daripada pribadi lain yang hidup dalam kepalanya. Seorang pribadi yang telah Agastya temui semalam. “Sounds great. Let’s waste more time, then.”
Mereka berjalan bersisian setelah itu. Menyusuri kota metropolitan. Barangkali sebutan “The City That Never Sleeps” adalah kalimat paling presisi untuk mendeskripsikan New York. Dengan segala kesibukan, hiruk-pikuk, dan seluruh orang yang ada di dalamnya.
Sesungguhnya, New York bukan pilihan teratas Ceara bila disuruh memilih. Oh, tentu–Ceara mengagumi New York. Sebagai negara dengan perekonomian maju di dunia dan diisi orang-orang berbakat. Namun, Ceara lebih suka negara dan daerah yang banyak memiliki pemandangan alam. Atau, tempat dengan struktur bangunan yang unik. Yunani, misalkan. Jepang, salah satunya–dengan seluruh budaya kuno mereka yang menganggumkan. New Zealand jugalah salah satu negara yang ingin ia datangi. Namun, sejak awal–datang ke sini bukanlah kemauannya. Banyak hal yang harus ia selesaikan dan New York mungkin menjadi sumber permasalahan sekaligus jawaban atas seluruh tanda tanya yang ada. Ah, untuk lebih spesifik–bukan New York-nya. Namun seorang lelaki yang tengah ada di negara, di kota ini.
Ceara bukanlah penggemar puzzle. Ia tak begitu suka teka-teki, meski harus ia akui–dirinya sendiri sarat serba-serbi. Maka dari itu ketika Ceara melihat kesempatan untuk mengetahui segala tentang dirinya, ia tak ingin buang-buang waktu. Sebab dalam 26 tahun terakhir, ia merasa sedang bercermin–namun, refleksinya buram. Ia seperti tengah melihat dirinya sendiri, namun bahkan refleksi itu seolah bukanlah pantulan dari dirinya. Tidak jelas, tidak pasti–dan rasanya mengganjal. Menyesakkan.
Karena itu ia tak ingin merasa sia-sia menghabiskan waktu satu tahun hanya untuk mencari Agastya. Ia ingin, bagaimana pun–usahanya berbuah manis.
“Kentang?”
Ceara tersentak begitu Agastya memanggilnya–secara tak langsung. Sebuah mangkuk plastik berisi kentang goreng dengan keju dan bacon di atasnya disodorkan Agastya padanya. Ceara tersenyum kecil, mengambil sepotong kentang itu dan memakannya. Tentu saja, tawaran itu tak bisa ditolak. Siapa yang dapat menolak kentang goreng dengan lelehan keju dan taburan bacon kering di atasnya?
Ketika ice milk tea yang mereka pesan datang, Ceara dan Agastya keluar dari kafe. Mereka kembali berjalan dan menggerakkan tungkai, melinjak alas yang terbentuk dari batuan. Mereka berjalan di sisi jalan dan Agastya menukar tempat dengan Ceara ketika gadis itu berjalan di bahu jalan.
“Jadi,” kata Agastya. Ia menyesap milk tea-nya dan memperhitungkan akan beli lagi di sana. Rasa manisnya pas dan kebetulan kafe itu dekat dengan apartemennya. “Bagaimana kamu tahu apartemenku?”
“… Ulah Carmen–sebetulnya. Dia membujuk suster yang kemarin mengekorimu untuk memberitahu di mana kamu tinggal.”
Bisa begitu, apa? Apa yang terjadi dengan peraturan tidak boleh membocorkan informasi pribadi? Agastya mengangguk-angguk paham. Tidak ingin ambil pusing untuk sekarang. “Jadi, kenapa kalian … bisa mengenalku?”
Ceara menarik napas, mengempas pelan. Ada detik-detik yang terbuang ketika tak ada satu pun yang membuka suara dan katakan maksud yang ada dalam hati. “Itu yang ingin kubicarakan. Celestia sepertinya kenal kamu. Dia hanya tahu nama kamu, tapi … dia cukup percaya kamu berhubungan dengan alasan kenapa dia dan Carmen bisa ada.”
“Sebentar–,” Agastya menghentikan kalimatnya. Tiba-tiba berhenti melangkah, membuat Ceara harus menoleh ke belakang hanya untuk melihat sebelah alis lelaki itu terangkat. “Aku? Kepribadian ganda bisa muncul karena trauma yang mendalam,” sahut Agastya. Secara tak langsung ia tengah mengisyaratkan bahwa dirinya tak ada hubungan dengan luka dalam hati seseorang dan Agastya yakin itu benar adanya. “Bagaimana aku berhubungan dengan itu? Ah, maksudku … aku bahkan tak pernah bertemu dengan kamu, atau Carmen, atau Celestia–at least, sampai hari ini.
“Aku tahu,” sahut Ceara. Kedikkan pada dagunya meminta Agastya untuk kembali berjalan. Dan lelaki itu mengikuti langkah Ceara. “Tapi mungkin kau berhubungan dengan masa laluku–hanya secara nggak langsung. Dan kami ingin meminta bantuanmu soal itu.”
Agastya tidak membalas. Ia tahu Ceara akan melanjutkan kalimatnya dan gadis itu memang kembali bersuara, “Pada dasarnya, kami ingin kamu menyembuhkanku. Dan kami nggak bisa sembuh tanpa tahu apa yang terjadi di masa lalu, kan?”
“Tapi, aku hanya seorang psikolog, bukan psikiater,” ujar Agastya. Tapi menanggapi itu, Ceara tersenyum.
“Psikiater dan psikolog hanya sekadar bidang. Tapi, kamu adalah orang yang mungkin sangat berhubungan denganku. Seluruh ingatanku mungkin juga adalah ingatan kamu dan kurasa itu tak bisa diselesaikan oleh psikiater dan psikolog mana pun.”
Agastya menggulirkan bola matanya ke langit. Berikutnya, ia menutup mata dengan punggung tangannya, menghindari sinar sang surya. Ceara sama sekali tak salah. Dokter tidak bisa menyembuhkan pasien dan memberi obat yang tepat tanpa tahu sebab dan penyakitnya apa. Terik matahari sedikit membakar hingga puncak kepala. Membuatnya semakin bingung dalam pemilihan kata. “Well, kalian harus mendaftar di rumah sakit dan meminta untuk diperiksa olehku–”
“About that–uhm. Could you keep this as a secret? I mean, help me personally. Not because you are a doctor, but because you are–maybe–the person I’ve been looking for.”
Agastya menatap sepasang bola mata berwarna ganda itu. Ada kompulsi-impulsif yang membuatnya bertanya dan ia tahu ada rasa terganggu dalam nada suaranya, “And if I refuse?”
“Then it’s fine. Sama sekali nggak ada masalah. Well, tapi cukup diingat–aku nggak minta bantuanmu dengan gratis,” tandas Ceara, menarik kedua sudut bibir. Jelas-jelas ada humor yang tersimpan di sana. Itu bukan senyum usil seperti milik Carmen semalam. Hanya saja, senyum itu cukup menjerat dan menawan atensi. Anggun, tapi tidak membosankan. Agastya sedikit terhibur, sebetulnya. Namun tetap saja, lelaki yang memiliki pekerjaan sebagai psikolog itu melihatnya dengan penuh keraguan dan curiga yang kentara.
“Money is not everything.”
Ceara sediki berjinjit. Membisiki nominal yang tak sedikit, yang ia pastikan bahwa ia sanggup membayar. Setelah itu, gadis itu tersenyum. Semakin merasa puas kala melihat ekspresi tak terdefinisikan Agastya, tapi sekaligus tanda bahwa sang lelaki sudah memutuskan pilihan.
“When do I start?”
.
.
.
“So, what should I call you?”
"Ceara is fine. Ara, for short.”