Conflate

Clarecia Nathaniel
Chapter #3

BAB II

Thanks,” Agastya berujar kasual, mengambil sebungkus chicken burger yang dibelikan office boy atas perintahnya. Dokter lelaki itu terlihat kalem, namun Margarethe tak bisa abaikan kerutan yang terukir pada glabella-nya. Segelas air putih dingin ditaruh dekat komputer. Agastya ingin berujar “thanks” lagi, namun ia sedang tak selera hanya untuk sekadar bersuara.

Is something happening?” tanya Margarethe.

Agastya mengangguk kecil. Ini baru tengah hari dan ia masih ada setidaknya dua jadwal pertemuan dengan pasien. Tapi pikirannya sudah berkelana entah ke mana, kabur dari tempatnya. Banyak hal yang belum ia ketahui tentang Ceara dan pribadi lainnya, tentang gadis itu dan masa lalunya. Tentang dirinya sendiri dan bagaimana ia akan membantu Ceara. Agastya tak pernah menangani pasien penderita kepribadian ganda. Mungkin hanya pasien yang memiliki obsesif-kompulsif, narsisisme, kecemasan sosial–dan sebagainya. Penyimpangan yang masih dapat dikatakan ringan. Tapi tidak untuk yang ini.

Terlebih ketika ia melihat Celestia. Pertemuan pertama yang tak bahagia–sungguh. Itu cukup mengejutkan untuk melihat seseorang begitu shock untuk kali pertama. Menopang dagu dengan sebelah tangan, Agastya mengangkat salah satu kertas dari sekian banyak yang bertumpuk di atas mejanya. Melihat pasien yang mana yang akan segera datang, karena Agastya mengestimasi tak lama lagi pasien itu akan datang.

Dan apa yang telah diperhitungkannya terwujud. Ketukan pada pintu menjadi sumber suara yang menurutnya paling keras saat ini. Margarethe membuka pintu, menampakkan seorang pemuda dengan kecemasan yang berlebihan, tampak dari tiap gerak yang ia ciptakan. Penuh keraguan, ada bumbu ketakutan, dan keseganan. Profesional, Agastya bangkit dari kursinya, mengukir senyum di bawah juntaian helai hitam.

Good afternoon, Mr. Jean. Have a seat, please."

Seharusnya–seharusnya, sebagai seorang dokter psikolog, ia harus mendengarkan seluruh isi hati pasiennya yang ditumpahkan dalam lisan dengan baik dan sungguh-sungguh. Tapi jelas saja kali ini Agastya tak mampu untuk itu. Pikirannya teralihkan dan malah memutar ulang tentang apa yang terjadi semalam. Menurunkan kedua pelupuk bertirai bulu mata, sepasang bola mata abu tersembunyi.

.

.

.

“Nih.”

Agastya memberi segelas susu hangat. Ia tahu minuman ini cukup ampuh untuk membikin pikiran relaks dan merangsang agar tidur lebih nyenyak. Celestia menerima gelas itu, merapatkan dekapannya pada lututnya sendiri. Ada selimut yang menggantung di pundaknya, diberikan oleh Agastya. Berbeda dengan tadi, Celestia merasa jauh lebih hangat, didukung oleh susu yang aroma manisnya meraba olfaktori, menenangkan gelisahnya.

Agastya tidak bertanya apa-apa selama 20 menit pertama. Celestia sendiri belum ingin bicara, hanya menikmati susu dalam gelas di genggaman jemarinya. Setelah susu itu habis, Agastya menaruh gelas di dapur. Lelaki itu duduk di sofa, di seberang Celestia dan ada kehati-hatian yang sangat ketika Agastya mengumpulkan suara, menyatakan apa yang sedari tadi telah dirancang di otak, “Ada apa, Celestia?”

Celestia menarik napas dalam-dalam. Setelah mengempasnya, ia berkata, “Mimpi buruk.”

“Kamu … mau kasih tahu mimpinya seperti apa?” tanya Agastya, mencari sepasang netra emas yang sedari tadi melihat ke bawah.

“Tentang masa lalu.”

“Oh, ya?” Agastya menyusun tiap kata begitu hati-hati. “Masa lalu yang bagaimana?”

Celestia bungkam untuk sesaat. Lagi, hening yang merasuk terasa membekukan tulang. Agastya menunggu dengan sabar. Sama sekali tak memberi gestur bahwa ia bosan, jenuh, atau apa pun. Agastya rasa perlakuan seperti itu tak dibutuhkan oleh Celestia sekarang ini. Bahkan Agastya berusaha menahan kuap yang dapat lolos setiap waktu. Karena menjadi psikolog memang harus seperti itu. Tapi lebih dari pekerjaannya, Agastya sendiri ingin menanggapi ini dengan serius.

Agastya akui, ketika kali pertama permintaan ini dibebankan padanya, ada banyak limpahan keraguan yang tumpah-ruah dalam pikirannya. Namun ternyata memang permintaan ini tidak dibawa atas masalah yang sederhana. Ada luka yang terlalu dalam, telat untuk diobati, akhirnya luka itu tak menutup. Malah, ciptakan lubang dalam yang ketika disentuh, dapat berdarah lagi.

“Aku … melihat banyak anak kecil. Termasuk aku. Lalu … ada kamu. Nama lengkapmu dipanggil oleh orang lain–aku nggak tahu siapa. Kamu meronta karena ditarik seseorang. Sepertinya kamu mati, tapi, entahlah–tak jelas.”

Agastya menggaruk belakang kepala. “Yeah, tapi–itu bisa kamu lupakan dulu. Aku nggak mati, kan? Hey, look at me. Aku bahkan nggak ingat pernah diperlakukan sekasar itu.”

Anggukan. Celestia mendongak, akhirnya mempertemukan emas dengan abu. “Masalahnya, aku … nggak ingat itu di mana. Gosh. Mungkin kalau aku ingat tempatnya, kita bisa ke sana, dan–”

“Hey,” Agastya menegur. “Calm down. Nanti juga ingat. Itu sudah termasuk clue. Sodon’t push yourself,” Agastya berujar, tandas. Oh, tidak–sama sekali tak ada niat untuk membuat kontrak mereka menjadi semakin lama dan Agastya mendapat uang lebih banyak. Sama sekali tidak. Ia tidak sepicik itu. Celestia, sekali lagi, mengangguk. Setelah itu Celestia kembali ke ruang apartemennya. Sedikit meminta maaf atas gaduh yang ia lahirkan dan membikin orang lain panik.

Agastya mengatakan tak ada masalah tentang itu. Tapi, tentang paniknya–ya, dia sangat teramat kalap dan kaget. Dan perasaan kaget itu masih terbawa bahkan setelah Agastya pergi ke rumah sakit dan seharusnya memikirkan pasien.

.

.

.

Doctor Agastya?”

Agastya mengerjap. Ia memberikan senyum pada pasiennya. Membalas setiap perkataan pasiennya dengan hati-hati dan penuh perhitungan, Agastya menghela napas lega begitu satu pasien sudah diatasi. Tinggal menunggu satu lagi yang juga memiliki jadwal temu dengannya. Ia sangat ingin pulang ke rumah setelah ini. Selain lelah karena pekerjaan, fokusnya juga sedang tidak baik.

Agastya terlalu banyak memikirkan mengapa namanya bisa berimplikasi dengan masa trauma Celestia. Setidaknya Agastya cukup yakin ia tak pernah berbuat tindakan kriminal selama ia hidup. Bila dipikir logis, umur Ceara dan Carmen terpaut 4 tahun. Itu berarti di umur Ceara yang ke 4, ada sebuah kejadian buruk yang memicu Carmen muncul. Sementara di umur segitu, Agastya masihlah seorang bocah lelaki di awal umur 7 tahun–hey, itu adalah umur masuk sekolah dasar. Secara nalar pun–apa yang dapat dilakukan bocah umur 7?

Mengusap wajahnya, Agastya mengalihkan fokusnya pada ponsel pintar yang berbunyi mendadak, menyatakan adanya pesan masuk. Dari tiga nomor berbeda yang baru saja ia simpan, ini adalah nomor milik Carmen. Gadis itu memberinya pesan. Ada emoticon dan teks yang begitu dipenuhi semangat. Khas sekali. Agastya tertawa kecil.

“Alay,” sahutnya kecil.

.

.

Lihat selengkapnya