Dalam Pesawat Boeing 737 Tujuan London, 28 Januari 2020
Mr. John Mac Kenzie menatap cemas ke arah luar jendela pesawat. Gerakan aerodinamis sayap pesawat menyihirnya. Sayap burung besi itu bergerak eksotis melengkung, melebar, menyempit, demi menjaga keseimbangan pesawat.
Sesungguhnya dalam pembuatan pesawat terbang, pembuatan unit sayap memiliki tingkat kerumitan yang tinggi. Teknologi pembuatan sayap pesawat selalu menjadi formula yang top secret bagi semua pabrik pesawat di seluruh dunia. Itu yang dia baca dari buku Airframenya Michael Crichton, sebuah novel techno thriller.
Dia menghela napas panjang. Matanya menerawang untuk mengingat mendiang istrinya. Dahulu dia selalu heran. Bisa-bisanya Helga, mendiang istrinya, selalu tidur nyenyak dalam penerbangan panjang yang menggelisahkan seperti ini. Jarak Jakarta-London memakan waktu berjam-jam meski menggunakan pesawat.
Mr. Mac Kenzie memperhatikan awan yang bergelung di sekeliling pesawat. Entah kenapa awan selalu membuatnya gelisah. Awan selalu mengingatkan bahwa dia sedang berada 20000 kaki di atas permukaan bumi.
Sebenarnya cuaca sangat cerah. Penerbangan pun lancar tanpa turbulensi. Pramugari dan pramugara berseragam mondar-mandir melayani penumpang pesawat seolah-olah mereka ada di atas Kereta Api Parahiyangan.
Senyum selalu menghiasi wajah mereka saat memberikan makanan, minuman, menawarkan majalah dan selimut kepada para penumpang.
Tiba-tiba ia merindukan bumi. Walaupun ia bukan orang yang selalu membumi, terasa lebih nyaman ketika kakinya menapak di atas tanah. Menapaki bumi.
Ia jadi membayangkan perasaan para astronot yang bertugas di stasiun ruang angkasa. Dengan gravitasi nol, mereka akan melayang-layang mondar-mandir dalam pesawat ulang alik. Sungguh salut. Proficiat.
Saat ini awan berwarna putih dan langit terlihat cerah. Tapi ini masih satu jam pertama penerbangan lepas landas dari Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng. Ia tersenyum muram dan kecut.