Connesso

Cano
Chapter #3

Chapter 3 - BENJAMIN'S POV

Buram. Aku tak bisa berkata, benda apa sebenarnya yang sedang kulihat ini? Dan di mana pikiranku? Aku berguling, tubuhku seketika menengadah ke langit kamar yang beraroma bunga bercampur dengan aroma kayu.

Jika mata bisa berucap, mungkin mereka akan protes meminta haknya untuk istirahat. Di ranjang yang hangat ini, tangan kokohku bertumpu, dilipat di atas bantal, menahan kerasnya kepalaku yang dipenuhi beban pikiran. Aku tak bisa tidur, maafkan aku mataku, bertahanlah sedikit lagi, batinku.

Lucunya, mataku bergerak lagi ke arah jam dinding, seperti sengaja menunjukkan bahwa malam sudah mulai meninggalkan kota Seattle ini, lebih tepatnya sekarang pukul 05.20.

“Siapa wanita itu?” Aku bergumam heran.

Kemarin sore aku dikabari oleh Dr. Lena Presley, bahwa ada yang jatuh cinta pada selku, yang kira-kira sudah kuabaikan 5 tahun lamanya. Aku masih ingat, saat itu aku masih berusia 30 tahun. Masa-masa merintis bisnisku sendiri.

Benjamin Alex Carter, nama itu diberikan 35 tahun yang lalu oleh kedua orang tuaku. Aku memang dibesarkan di keluarga yang punya harta lebih dari cukup, tapi aku bukan pewaris utama, melainkan anak ke-3. Mengingat hal itu, membuatku selalu berpikir, di mana ada pria yang sudah berumur terus meminta uang pada kedua orang tuanya? Mau disimpan di mana wajahku yang sedikit jambangan ini?

Kendati begitu, aku tetap mengaku seorang perintis, meski mendapat suntikan dana dari perusahaan keluarga yang dikelola oleh kakak tertuaku dan juga para investor lain.

Mengingat di bangunnya bisnisku kala itu, bersama itu pula aku memutuskan untuk membekukan sel biologisku sendiri. Dengan alasan utama untuk jangka panjang—berjaga-jaga, bila aku akan menikah tua sekaligus tak ingin diganggu dengan kisah asmara, yang dapat membuatku tak fokus dalam mengerjakan bisnis.

Dan sekarang aku merasa begitu hampa, hidup seperti tak ada arah, tak ada gairah. Bukan. Bukan pasangan yang aku maksud, melainkan hampa karena mimpiku untuk menjadi pesepak bola tak tercapai. Hingga saat ini aku sudah jarang bermain di lapangan hijau itu.

Aku melihat semburat cahaya dari tirai jendela yang belum kusingkapkan, dia semakin terang saja. Tapi tetap saja tubuh ini terasa berat untuk beranjak.

Aah ... aku ingin libur saja, sungguh, ucapku dalam hati.

“Dr. Lena bilang, wanita itu juga meminta identitasku. Tapi untuk apa dia meminta?”

Pikiranku menimpali, memangnya kau juga untuk apa meminta identitas penerima donor?

Aku mengusap wajahku, sadar. Pertanyaan itu juga seharusnya diberikan untukku. Aku bukan orang bodoh yang tak tahu etika profesi seorang Dokter. Aku tahu bahwa membocorkan identitas seseorang di dunia medis adalah pelanggaran, dan apakah aku telah sengaja membuat seorang Dokter melanggarnya dengan meminta identitas penerima donor?

Tapi sepertinya ini bukan masalah, karena penerima donor juga meminta identitasku. Dan jika ditanya, apa alasanku meminta identitasnya? Aku hanya penasaran pada anak yang dikandungnya. Bukankah secara biologis aku tetap ayahnya? Memangnya pria mana yang tak penasaran setelah bagian inti dari tubuhnya digunakan? Kurasa semua pasti memiliki perasaan yang sama.

“Apa yang harus kukatakan pada Dr. Lena?” Gumamku lagi.

Dengan tubuh yang setengah terbuka, aku membuka ponselku, menatap email dari Dr. Lena. Ibu jariku mulai menari kaku di atas layar.

_____

To: Dr. Lena Presley

From: benjamin.......@wm.m

Subject: Mengenai program donor


Lihat selengkapnya