Connesso

Cano
Chapter #6

Chapter 6 - BENJAMIN'S POV

Dengan tubuh yang masih dibalut handuk putih, aku kembali masuk ke kamar mandi setelah membaca pesan dari Dr. Lena. Beliau mengabari, bahwa Mia akan menemuinya hari ini-berpamitan.

"Kenapa cepat sekali? Kupikir dia akan pulang setelah benar-benar positif hamil," gumamku sambil bercermin, menatap wajahku yang dipenuhi jambang yang tak terlalu lebat.

"Apa aku perlu mencukurnya?"

Aku menatap diriku lama. Tadinya aku sedang bersiap-siap untuk berangkat kerja, tapi sepertinya hari ini adalah hari yang penting juga. Tentu aku tak senang mendengar kabar itu. Dan pada akhirnya aku benar-benar mencukur bulu-bulu halus ini.

Aku akan bertemu dengan Mia hari ini, dan aku tidak boleh terlihat kacau, kataku dalam hati.

Bila dipikir-pikir ini cukup lucu, selama ini aku tak pernah memedulikan penampilan saat bertemu dengan wanita, biasanya aku hanya berusaha berpenampilan rapi saja. Tapi kali ini, aku ingin lebih dari itu.

Sebagai pendonor, aku hanya meminta informasi—kepastian dari hasil inseminasi. Bukan berarti aku meminta Dr. Lena untuk menjadi mata-mata Mia, justru aku harus tahu informasi ini. Mia sudah hamil atau belum? Maka aku memutuskan untuk datang ke Seattle Family Hospital.

---

Khusus untuk hari ini, aku menobatkan diriku sendiri sebagai orang gila baru. Bagaimana tidak? Sudah tiga jam setelah keberangkatan aku duduk di kursi tunggu resepsionis, bolak-balik pula mataku melihat pintu masuk yang mungkin saja Mia akan segera datang.

Kami tak ada janji sama sekali. Ini hanya akal-akalanku saja, sengaja agar aku bisa memastikan sosok Mia yang biografinya kemarin kuintip itu adalah orang yang sama.

Aku menatap pantulan wajahku di ponsel, yang seharusnya aku sudah tampan. Aku mengusap kedua pipiku dengan jari, memastikan wajahku tak ada sesuatu yang mengganggu.

Tak begitu lama. Aku terkesiap tatkala melihat seorang wanita yang baru saja masuk. Mia telah tiba. Di tangannya ada bunga dan bingkisan. Benar, dia orangnya, kataku dalam hati.

Mia seperti sedang menautkan eksistensinya dengan pandanganku. Aku bisa melihat rambutnya yang hitam dan panjang bergelombang itu terombang-ambing di belakang blazer begie-nya, dia juga menggunakan rok span berwarna hitam dan sepatu flat shoes.

Sial, hanya melewat saja dia berhasil membuatku tak karuan.

Aku menghela napas dalam-dalam, mengusap dadaku pelan. Dia sudah tiba, Benjamin, ucapku dalam hati, seolah memberitahu bahwa aku tidak boleh hanya berdiam diri. Namun pikiranku mengerem tubuh ini supaya tak beranjak, seakan memberitahu bahwa ini bukan waktu yang tepat.

Kulihat ia mulai memasuki lift saat orang yang berada di dalamnya telah keluar. Aku tidak tahu dia akan lama atau tidak, tapi perasaanku menuntun agar aku tak lagi duduk di kursi besi yang menghangat seperti teflon di atas kompor.

Aku bangkit, menghampiri lift, seperti biasa menekan tombol. Lampu kecil di atasnya menyala, tapi pintu itu tak kunjung terbuka. Entah sudah berapa kali bunyi 'ting' terdengar dari lantai lain.

Kali ini aku benar-benar tak menggunakan logikaku. Aku akan masuk ke dalam sana, tapi entah berhenti di lantai berapa—tak ingin turun pula di lantai 3, sebab sejujurnya aku belum siap berbincang langsung dengannya.

Tak lama, pintu lift terbuka lebar, namun kosong. Aku segera masuk dan tak berpikir apa pun, telunjukku langsung menekan tombol lantai 6.

Ini gila, batinku merutuki.

Jarang sekali aku bertingkah begini, tapi aku menganggapnya sebuah trik ringan saja. Lift ini benar-benar bergerak lalu berhenti di lantai 6, tapi aku enggan untuk keluar.

Aku akan tetap di sini saja, menunggu kedatangan Mia, pikirku benar-benar lawak. Mungkin pengawas cctv juga akan menertawakan aku, tapi aku tak peduli.

Pintu besi itu kembali tertutup, lalu bergerak lagi. "Lantai 3?" Gumamku.

Aku menelan salivaku. Pintu lift ini benar-benar menuju lantai 3. Jantungku kembali berdegup tak karuan, padahal aku tak tahu siapa yang akan masuk nantinya.

Lihat selengkapnya