"Aku bukan orang jahat, kau aman berjalan di sampingku," ucapku, seakan tahu isi pikirannya.
Tidak aneh, dia selalu menatapku sekejap ketika aku mengucapkan hal yang mungkin saja menurutnya aneh.
Sejujurnya aku bukan orang yang hangat dan pandai merayu, bahkan aku tak pernah menampakkan hal seperti ini pada keluargaku. Tapi tidak kali ini, aku sadar merayu seorang wanita yang paling baik adalah menggunakan perasaan dan suasana.
Kali ini, aku akan menggunakan topengku yang lain.
Kami terus berjalan bersama, sama sekali tak bersentuhan. Aku tak ingin membuatnya tak nyaman—aku masih orang asing baginya. Jika ditanya, bagaimana perasaanku? Aku belum mengenalnya, dan aku berharap Mia tidak buru-buru kembali ke negaranya, aku masih ingin bertatap muka dengannya.
"Umm ... di mana kafetarianya?" Tanya Mia.
"..."
Bibirku terdiam, aku benar-benar sadar. Mia kelelahan, ini tidak boleh terjadi. "Sebentar lagi sampai. Kau mau duduk dulu? Atau—"
"Tidak usah ... maksudku kita jalan kaki saja, tidak perlu pakai kendaraan," ucapnya.
Dia cenayang atau apa? Bagaimana dia bisa tahu, aku mau berkata begitu? Pikirku. "Baiklah, kau jalan duluan saja."
Mia menoleh, menatapku yang sedang berjalan ke belakang.
"Aku tidak tahu di mana kafetarianya, Tuan," katanya dengan wajah terheran-heran.
Aku melongo sekejap, lalu mengurut kening. Mia benar-benar membuatku kehilangan sedikit kewarasan. Sial! Kenapa aku gugup?
"Ya Tuhan ..." Aku melihat garis senyumnya lagi, seakan kami sudah sangat akrab. "Baiklah, ikuti aku."
Tak begitu lama, tanpa bising di sepanjang trotoar. Kami berdua memasuki sebuah kafetaria. Hidungku segera memberi sinyal ke lambung, mengenali aroma pengharum ruangan bercampur dengan aroma makanan serta kopi yang pekat.
Kami berdiri di depan kasir wanita yang tampaknya sedang sedikit sibuk, bibirnya tak mau diam, dia terus mengoceh agar rekan kerjanya segera mengisi etalase dengan pastry.
Kasir itu melihat kami. "Oh. Selamat datang di R.B.R Ćafe. Mau pesan apa? Maaf etalasenya kosong. Tapi menu selalu tersedia."
"Tidak masalah." Aku menoleh melihat Mia. "Mau pesan apa, Ms. M—"
"Oh ya ampun ... pacarmu cantik sekali," ucap kasir itu, wajahnya terkejut ria nan ramah.
Mia ternganga kecil, dia melihatku seperti ingin mengatakan sesuatu yang tertahan.
"Oh tidak, Mam. Kami tidak pacaran," ucapku terkekeh santai.
Namun kasir itu mendelik geli. "Owh aku salah, dia pasti istrimu kan?"
Kami terkekeh bersama, kendati sebenarnya hatiku sedang tak karuan, rasanya juga aneh, aku senang ada seseorang yang memberi validasi meski dia keliru.
"Kami berdua tid—"