Connesso

Cano
Chapter #8

Chapter 8 - MIA'S POV

R.B.R Ćafe, tempat yang kini sedang aku duduki dan Seattle, tempat yang menjadi terwujudnya keinginanku—tempat yang tenang, membuatku benar-benar menjadi diri sendiri. Jauh dari sorotan kamera-kamera yang sudah sering menguras energiku. Aku betah di sini, tapi aku harus kembali.

Aku rasa dengan duduk sebentar ditemani oleh pria yang belum mengenalkan namanya ini tak terlalu buruk, seolah cerita di Kota Seattle ini harus ada sedikit percikan kesan yang baik. Aku ingin menanyakan namanya, dia terlihat baik di mataku tapi aku tak ingin membicarakan privasiku, tujuanku, bahkan identitasku yang sebenarnya.

Dengan nahasnya, pria tinggi, berambut cokelat ini tahu siapa aku sebenarnya. Matanya yang abu-abu mengingatkanku pada satu hal, yakni identitas pendonor sel biologis yang kugunakan. Sungguh, ciri-ciri tubuhnya sangat sama dengan identitas itu.

Jangan dikira aku tak memperhatikannya. Pria di hadapanku ini mengenakan jaket tebal berwarna cokelat tua dengan resleting yang dibiarkan terbuka, memperlihatkan sweter turtleneck hitamnya. Dan aku mengakuinya, dia adalah pria yang rupawan.

Rasa laparku sedikit terobati, pria ini datang di waktu yang tepat.

"Terima kasih, Chef Mia, karena telah mengizinkanku untuk berbuat baik," katanya. Entah mengapa dia seperti sedang meledekku dengan terus menyebutku 'Chef'.

"Aku tidak terlalu suka dengan sebutan itu, Tuan," ucapku berterus terang. Sebenarnya tidak ada masalah jika sebutan itu digunakan di waktu yang tepat.

"Maafkan aku. Kalau begitu ... apa nama panggilan kesukaanmu?"

"..."

Aku tak segera menjawabnya. Tadinya aku ingin memakai nama samaran, tapi pria ini sudah terlebih dahulu tahu nama asliku.

"Mia saja," ucapku tak keberatan. "Lalu ... aku memanggilmu apa?" Akhirnya aku menanyakan sesuatu yang sudah mengganjal di benakku.

"..."

Kali ini aku melihat wajahnya yang tiba-tiba diam namun tetap menarik untuk dilihat, dia juga tak gugup saat kutanya. Jikalau gugup pun itu maklum, karena aku dan dia hanya akan bertemu sekali saja.

"Panggil saja aku Bennet."

"Bennet?" Ucapku mengulangi.

Bennet mengangguk, ramah. Namanya mudah diingat, ucapku dalam hati.

Aku bersyukur kepada Tuhan, karena selalu melindungiku di mana pun aku berada, dan aku yakin akan selalu ada orang baik yang mau membantu kita, seperti Tuan Bennet ini.

Beberapa menit yang lalu, kami mengobrol bersama di kafe dan itu cukup menyenangkan. Aku tahu dia pria yang baik, tapi ada banyak hal yang membuat hatiku terasa ganjal.

Dia siapa? Tiba-tiba muncul dengan penampilan maskulin dan outfitnya yang aku sendiri tahu itu bukan barang yang murah, serta supercar hitam yang sedang kududuki saat ini. Ini jelas bukan mobil-mobillan anak kecil yang sengaja dibuat mengkilap, sekaya apa dia? Ucapku dalam hati.

Lihat selengkapnya