Connesso

Cano
Chapter #10

Chapter 10 - MIA'S POV

Tidak ada yang aneh. Hari terus berjalan seperti biasa. Aku sudah bangun satu jam yang lalu, dan sudah membereskan semuanya, sprei, bantal, cermin, kamar mandi dan barang-barang pribadiku, termasuk diriku sendiri yang kurasa penampilanku ini sudah cukup rapi.

Aku berdiri di hadapan standing mirror, dan melihat pantulan jam dinding yang menujukan tepat pukul 6 pagi. Pandanganku lantas menyapu dari kepala hingga ujung kaki.

Tak ada yang aneh, pakaianku masih sama seperti kemarin, blazer beige ini kupakai lagi, tatanan rambut yang hanya diikat separuh dengan jepit hitam berbentuk pita juga kugunakan, hanya saja kini aku memakai celana longgar berwarna cokelat gelap.

Penampilan ini membuatku teringat pada Bennet. Kemarin malam saat kami berbincang di ruang chat, dia bilang benar-benar mengingat semuanya, termasuk pakaian ini.

"Semoga dia tak sadar aku memakai blazer ini lagi," gumamku, lantas mengendusi aroma blazer yang sepertinya tak ada aroma kecut.

Aku segera keluar. Kutatap pintu putih itu, terima kasih untuk satu minggu ini, batinku berbicara seolah pintu itu hidup.

Kaki ini segera melenggang dengan santai, menyeret koperku menjauh dari sana. Sudah kupastikan, tidak ada benda apa pun yang tertinggal—mungkin hanya meninggalkan sedikit aroma parfumku saja.

Tibalah aku di depan, hendak keluar dari area apartemen. Tebak siapa yang kulihat? Bibirku melengkung senang dengan sendirinya. Bennet segera turun dari mobilnya, dia menghampiriku dengan langkah kaki yang lebar.

"Kau benar-benar datang," kataku tak percaya. "Sejak kapan kau berada di sana?" Padahal aku tidak berekspetasi tinggi, tak dijemput pun tak masalah.

"Iya. Nona Mia. Anggap saja ini kereta kuda Cinderella yang tiba-tiba datang," balasnya santai.

Kami terkekeh. Hari ini Bennet terlihat segar, semuanya rapi dengan outfit casual-nya, membuatku keheranan. "Kau tidak bekerja?" Tanyaku sengaja, yang memiliki makna 'apa pekerjaanmu?'

"Aku bekerja. Tapi sebelumnya aku harus mengantarmu, karena aku sudah berjanji."

"Abaikan saja aku. Aku bisa naik taxi sendiri."

"..."

Jawabannya seperti sebuah penolakan, dia bahkan tak memberitahu pekerjaannya.

Seolah mengerti, ia lantas menarik koperku dan memasukkannya ke dalam bagasi. "Kita berangkat sekarang." Bennet membukakan pintu untukku.

"Ayolah ... jangan seperti ini," ucapku tidak enak. Rasanya ingin sekali menutupi wajah ini. Aku bukan siapa-siapa, kenapa dia melayaniku seolah dia adalah sopir pribadiku?

"Ayo naik, Nona Mia. Jangan sampai kita terlambat."

"..."

Sebenarnya banyak hal yang ingin kutanyakan padanya, tapi waktu yang tersisa sungguh tak banyak. Aku menaiki mobilnya dan duduk di sampingnya seperti kemarin.

Harum apa ini? Aromanya tidak seperti hari kemarin, batinku berucap. Aku menoleh, ini pasti parfumnya. Aromanya segar dan tidak pekat, khas parfum pria.

"Kenapa?" Tanyanya. "Sudah sarapan?"

Aku menggeleng spontan, "belum—oh! Sudah tadi," ucapku berbohong. Dasar mulut ini! Umpatku. Aku tahu dia pasti akan mengajakku makan. Aku menelan salivaku, mulutku mengecap, aku bahkan lupa kapan terakhir kali minum.

"Kita sarapan bersama, ya?" Ucapnya

"Oh, tidak usah."

"Jangan berbohong, Nona Mia. Kau harus menjaga kesehatan."

"Iya, aku bisa makan nanti di kabin."

Bennet menoleh cepat. "Kenapa di kabin? Kau berangkat jam 11 siang, itu waktu yang lama. Tidak baik untuk perutmu, jangan sampai setelah tiba di rumah kau malah sakit."

"..."

Kata-katanya seperti sedang mengunci mulutku. Aku tahu dia bukan marah, dia hanya khawatir, tapi cara bicaranya sedikit aneh bagiku. Kalimatnya seperti menandai aku adalah istrinya, seolah kami sudah lama dekat.

Lihat selengkapnya