Aku sudah sering melihat adegan di film, di mana seorang wanita yang akan melahirkan sedang dilarikan ke sebuah rumah sakit dengan ditemani suaminya. Aku suka adegan menegangkan sekaligus mengharukan itu, sungguh dramatis menyambut kelahiran buah hati, hasil cinta mereka.
Berbeda dengan diriku saat ini, yang tanpa suami sedang terbentang di atas ranjang rumah sakit, tanganku diinfus, pakaianku hanya setelan polos rumah sakit berwarna biru muda.
Tubuhku masih kuat, napasku stabil, kendati aku mulai merasakan sedikit perih pada perut bagian bawahku, yang katanya sebentar lagi akan melahirkan.
Kupandangi perutku yang mengembang dan mengempis bernapas, lalu kuusap-usap. Bagaimana aku tidak bahagia? Sebentar lagi kita akan bertemu, cintaku. Aku teringat kenangan saat dia bergerak gerak di dalam perut, rasanya tak bisa kujelaskan dengan detail—rasanya sedikit geli, namun nikmat.
Aku tak sendirian. Ada Norah yang selalu menemaniku. Kami semakin dekat saja, dia juga benar-benar hangat padaku, benar-benar menjadi ibu sementara yang tak hadir.
Mereka—orang tuaku bukan tak mau datang, tapi aku yang melarangnya dengan dalih aku yang akan menemui mereka nanti, mereka juga sama sekali tak tahu aku hamil dan akan melahirkan. Aku tahu tidak seharusnya aku merespon begitu. Aku juga sangat mengerti bagaimana perasaan mereka.
Tak lama aku lantas merengek, merasakan perutku semakin perih saja. Norah yang berada di sampingku siap siaga, ia keluar dan memanggil siapa pun yang berada di luar ruangan. Tak lama, ia datang bersama dengan beberapa suster.
Ranjangku mulai didorong, aku tahu aku akan dibawa ke ruang bersalin.
Aku masuk ke dalam, sedangkan Norah tetap di luar, padahal aku butuh penyemangat, tapi aku tak mau banyak protes. Di dalam, aku melihat dokter sudah di sana, syukurlah dokternya perempuan, setidaknya aku tak perlu canggung saat setengah mati di sini.
Tanganku mulai meremas seprai, jantungku tak tenang, gerakan petugas medis membuatku sedikit was-was. Seketika aku teringat pada awal-awal melakukan program ini—posisi tubuhku benar-benar mirip seperti kala itu.
"Tenang dan atur napasmu, Nona Mia," ucap sang Dokter.
Aku mengejan, menurutinya. Tak begitu lama, hatiku lega sekali setelah mendengar suara bayi menangis, yang begitu nyaring memenuhi ruangan.
"Il bambino è un maschio," (Bayinya laki-laki) ucap sang Dokter.
Dadaku terenyuh. Aku ingin tersenyum, tapi air mataku lebih dulu jatuh.
"..."
---
Beberapa menit kemudian. Pandanganku tak luput dari bayi yang sedang kugendong, dia kecil, kulitnya masih merah dan lucu, rambutnya cokelat, aku berpikir, dia tidak mirip denganku. Tapi itu bukan masalah, yang penting dia selalu berada di sisiku, seperti Norah saat ini.
"Lihat, dia tidur, Norah. Padahal aku ingin melihat matanya," kataku tak berhenti tersenyum, melupakan rasa perih yang perlahan mereda.
"Aku sudah jadi ibu sekarang," kataku lagi. Sungguh aku tak masalah disebut berlebihan, aku memang sedang terharu saat ini. Ternyata beginilah rasanya, ada rasa bangga tersendiri yang sulit untuk dijelaskan.
Norah mengusap betisku pelan. "Kau sudah berjuang melahirkannya, Mia. Syukurlah kau tidak kehilangan banyak darah, aku akan menjagamu sebisaku."
"..."
---