Connesso

Cano
Chapter #15

Chapter 15 - MIA'S POV

Marcello yang terus mendesakku benar-benar telah menguras energi dan pikiran. Gosip yang beredar telah membawanya kemari. Aku mengerti namanya yang terseret telah membuatnya terganggu, dan aku paham itu bisa menghancurkan reputasinya.

Dan yang membuatku kaget adalah, dia bilang Rogero adalah anaknya. Ini sangat konyol, sudah sangat jelas aku melakukan program bayi tabung, kendati aku tidak ingin memberitahunya soal kebenaran ini, toh faktanya dia memang bukan siapa-siapa, dia hanya mantanku saja.

Kutatap jam dinding yang menunjukkan tepat pukul 2 siang, sungguh mataku terasa berat sekali, namun inilah kenikmatan saat statusku beralih menjadi orang tua.

Penyemangat hidupku yang satu ini selalu tidak mau diam, kakinya terus menendang-nendang, tangannya terus mengepal, entah apa yang ia lihat, sepertinya ia penasaran pada cahaya lampu.

Kuraih ponsel yang sedari tadi kuabaikan, baterainya masih awet. Tanpa sadar aku telah mencampakkannya, membuat kabar-kabar dari Eva tertimbun. Ada nama Bennet juga di bawahnya. Aku mengeklik namanya dan muncullah isi pesan bercampur panggilan yang tidak kujawab.


Bennet:

Mia, kau ke mana?

Kenapa belakangan ini kau menghilang?

Tidak mau membalas pesanku?

(Missed call)

(Missed call)


Mia bagaimana kabarmu?

Dibaca.


(...)

Aku mengusap kepalaku, membatin, tidak mungkin aku memberitahunya bahwa aku telah melahirkan. Maka aku memilih untuk mengabaikannya saja—fokus pada hal lain yang lebih penting.

Belum usai di sana, tampaknya masalah baru datang lagi. Ayah sudah tahu gosip ini, ia terkejut, memarahiku dan menuduhku telah melakukan skandal. Aku membaca pesan dari Ayah yang katanya sebentar lagi akan segera tiba di rumahku, memboyong istrinya dari Roma.

Dan ibuku yang berada di Turkiye juga akan segera datang. Aku bertelepon dengannya kemarin, ibu bersungut-sungut, marah sebab aku sempat melarangnya datang. Tapi itu bukan masalah besar, aku tahu respon mereka akan seperti ini, tapi aku tidak tahu bagaimana ekspresi mereka saat melihat Rogero.

Mataku melebar ketika layar ponselku berubah tampilan dengan sendirinya disertai getaran, nama Bennet terpampang jelas sedang memanggil.

Aku bangkit, beringsut duduk di tepian ranjang, lalu menjawab panggilannya.

"Hallo."

"Halo, Mia. Bagaimana kabarmu?" Tanyanya.

"Aku baik-baik saja." Aku menoleh melihat Rogero yang kakinya masih tak mau diam—memastikan agar dia tak menangis.

"Syukurlah. Kau ke mana saja?"

"Aku tidak ke mana-mana, Bennet. Aku di rumah." Aku membatin, mudah-mudahan dia tidak tahu gosip itu.

"Mia, bisakah kita bertemu?" Tanyanya dengan jelas.

Aku terenyak, "apa maksudnya?"

"Kau sedang di mana, Mia? Suaramu tidak terdengar jelas."

"Di kamar." Aku bangkit lalu keluar dari sana, yang sepertinya sinyalnya sedang tidak bagus.

"Mia, bagaimana menurutmu jika aku datang ke Italia?"

"Apa?!" Aku terkesiap. "Oh ... maksudku ... untuk apa? Kau mau liburan?"

Sial! Kenapa aku jadi gugup begini? Pikirku tak tenang.

"Untuk bisnis, Mia," balasnya, namun alasan itu tetap tidak membuatku tenang. Jika dia datang ke Italia, dia pasti akan tahu soal gosip itu.

"Oh, ya? Bisnis apa?"

"Aku akan membangun cabang di sana."

Lihat selengkapnya