"Aku ingin menghujatnya saat ini juga," geramku menahan. Aku menutup wajah dengan tanganku, Ya Tuhan, kenapa harus ada drama dan gosip ini? Keluhku di dalam pikiran.
Aku bisa meng-handle sendiri gosip-gosip itu, tapi aku tidak bisa meng-handle manusia manipulatif yang satu ini. Marcello bilang malam ini ia akan datang, itu berarti dia akan bertemu dengan ayah. Ah ... rasanya aku ingin pergi dari rumah, berduaan dengan Rogero dan hidup dengan tenang, tapi sepertinya itu sulit untuk dicapai.
Malamnya, tepat pukul 8 malam, Marcello benar-benar datang. Aku sama sekali enggan menyapa apalagi menunjukkan wajahku di hadapannya. Tapi ayah yang memang sudah mengenal Marcello itu berbincang-bincang dengan akrab. Sudah dipastikan mereka membicarakan Rogero. Hingga setelahnya, ayah memutuskan untuk masuk ke dalam kamarnya lalu tidur bersama ibu sambungku.
"Mia." Marcello mulai datang, dia berdiam diri di ambang pintu.
Aku beringsut, duduk di tepian ranjang. "Kenapa belum pulang?"
"Kau mengusirku?"
"Pelankan suaramu, Marcello!" Ucapku pelan sedikit ketus. Aku bersumpah demi apa pun, sama sekali tidak mengharapkan kehadirannya.
"Aku tidak akan marah meskipun kau bilang begitu." Kulihat Marcello maju sedikit lalu menutup pintu kamar pelan-pelan. Aku ingin mencegahnya, namun suaraku bisa saja membangunkan Rogero yang sudah tertidur.
Tanpa menghiraukannya, aku meraih handle pintu lalu membukanya kembali.
"Aku mau berbicara denganmu," ucapnya.
Mataku mengerenyit heran. "Sebenarnya kau mau apa ke sini?"
"Aku hanya ingin dekat dengan anakku. Ingin membopongnya, tapi dia sudah tidur ... aku mau menginap. Aku tahu kau lelah, Mia. Kita bisa mengurusnya bersama, kau mandi, kau makan, kau tidur, dan Rogero bersamaku," ucapnya. Kalimatnya terdengar tulus, tapi tetap saja aku tidak suka.
Aku berdoa kepada Tuhan, semoga pria sialan ini selalu sibuk pada pekerjaannya agar tidak bisa ke rumahku lagi. "Terima kasih, Marcello. Tapi Rogero tidak membutuhkan itu. Dan dia bukan anakmu," bisikku tegas.
"..."
Mungkin Kalimat itu terdengar seperti hinaan baginya, dan aku tidak lupa telah mengusirnya. Tapi Marcello tetap diam, aku tahu dia memendam amarah. Tapi tujuan utamaku memanglah untuk menyadarkannya bahwa kehadirannya tidak aku inginkan sama sekali, entah dia tidak mengerti atau tidak ingin mengerti.
Dia berbisik lagi, "kau mau menjauhkan aku dengan Rogero, setelah hamil dan melahirkan seorang diri. Aku tahu kau butuh perhatian, Mia."
"Cukup! ... Aku harus bagaimana agar kau percaya pada kebenaran ini?"
"Kau katakan pada publik bahwa Rogero memang anakku."
"Itu tidak mungkin." Mengingat saat hamil pun aku tidak mengunggah apa-pun di sana-hanya mengamati.
"Baiklah ... aku akan tidur di sofa saja."